DECISION EP.2: "Epilogue"



Keputusan atas sebuah pilihan, akan mengantarkan pada pilihan yang lain.
Itu adalah siklus yang akan terus berlangsung seumur hidup.
Bahkan ketika hidup ini sudah terlalu melelahkan untuk dijalani, dan kematian terlihat lebih baik, masih akan dihadadapkan pada pilihan dengan cara seperti apa yang paling baik untuk mengakhiri hidup.
Ada yang bilang bahwa tidak semua hal berakhir bahagia.
Tetapi sesungguhnya, semua pasti akan menjadi baik-baik saja pada akhirnya.

Bila belum membaik, berarti ini memang belum menjadi akhir.


*ini belum berakhir ya gaess.... :D, masih krg satu episode lg Decision the series-nya (kalo sesuai rencana sih). sampai ketemu di kelanjutan berikutnya ya, kapan-kapan. byee~

DECISION EP.2: Part 12

Monologue: “Worries, Choice”

Kim Namjoon. Aku memandang sebuah tubuh yang tidak berdaya di hadapanku. Rambut yang perlahan mulai memutih, kerutan yang perlahan menghiasi sudut-sudut matanya. Tanpa kusadari ayahku sudah semakin menua. Dia yang selalu bersikap keras dan memaksakan kehendaknya, kini terbaring di ranjang rumah sakit. Dan aku lah penyebab hal itu terjadi. Aku tidak tahu bahwa aku bisa memiliki perasaan seperti ini. Perasaan takut kehilangan. Lega rasanya begitu tahu keadaannya telah membaik. Tapi dia harus tetap beristirahat di rumah sakit untuk sementara waktu. Tidak ada percakapan diantara kami. Aku hanya menemaninya dalam diam. Mungkin ayah terlalu lemah untuk mengomel, dan aku hanya tidak berani berkata apapun. Sungguh aku ingin minta maaf atas kelakuanku, meski semua yang telah kukatakan adalah sebuah kejujuran. Aku takut salah bicara dan membuat kondisinya kembali memburuk. Berbicara tentang kehilangan, aku penasaran dengan kondisi Seokjin hyung saat ini. Apakah dia baik-baik saja? Pasti tidak. Aku harap aku bisa berada di sampingnya untuk melalui itu semua. Tapi apakah kehadiranku akan membuatnya merasa lebih baik? Haruskah aku tetap datang meski dia memintaku pergi? Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Di sisi lain aku masih ingin mencari tahu keberadaan Yoongi. Aku yakin yang kulihat malam itu adalah dirinya. Tapi aku tidak bisa kembali lagi ke tempat itu, setelah serangan jantung yang dialami ayahku. Tidak untuk saat ini.

Kim Seokjin. Aku dapat mencium dengan jelas aroma ibuku. Kemudian aku merasakan sensasi basah di pipiku. Apa aku menangis? Kubuka kedua mataku. Seluruh ruangan dipenuhi dengan warna peach. Dinding, tirai, hingga selimut yang menutupi tubuhku saat ini. Aku rasa aku tertidur di kamar orang tuaku usai acara pemakaman berakhir. Aku tertidur sambil memeluk salah satu baju ibu. Aku memeluknya semakin erat, menelungkupkan seluruh tubuhku. Ibu bilang aku tidak akan sendirian, tapi aku sekarang sendirian bu…  Ayah belum juga membuka matanya. Namjoon-ah, aku harap kau ada di sini, apa kau bisa mendengarku? Sungguh tidak ada yang kulakukan selain menangis. Andai ayah tidak koma, ia pasti sudah memakiku. Jauh dalam hatiku sedikit tertawa menanggapi kenyataan bahwa ayahku koma. Apa aku sudah gila?? Sesaat aku berpikir bahwa ayah memang pantas dihukum atas kelakuannya padaku selama ini, atas perlakuannya terhadap ibu selama ini. Kenapa bukan ayah saja yang pergi, kenapa harus ibu yang meninggalkanku? Tapi bila ayah ikut pergi, aku benar-benar akan menjadi sebatang kara. Jungkook, aku lupa tentang dia. Setelah mengetahui kebenaran yang ada, aku tidak tahu bagaimana harus menerimanya. Haruskah aku bahagia karena ternyata aku memiliki adik laki-laki, dan adik laki-laki itu adalah Jungkook? Atau aku harus membencinya karena ibunya adalah penyebab ketidakbahagiaan dalam hidupku dan ibuku? Tidak, itu bukan yang ibu inginkan. Ibu tidak akan menginginkanku membenci siapapun. Baik itu ayah, wanita itu, ataupun Jungkook. Saat ini aku hanyalah seorang anak ayam yang kehilangan arah. Aku merindukanmu bu….

Min Yoongi. Bocah-bocah itu tidak pernah menyerah untuk menghubungiku. Jung Hoseok dan Kim Taehyung. Haruskah aku merespon mereka? Tidak. Aku tidak boleh bersikap setengah-setengah. Aku telah memutuskan untuk pergi, meninggalkan segalanya, dan memulai hidup yang baru. Aku tidak boleh membiarkan siapapun mengetahui keberadaanku, atau ayah akan bisa menemukanku. Apakah ayah dan ibu baik-baik saja di rumah? Aku tidak boleh kembali sebelum aku sukses. Aku tidak akan mengecewakan ibu. Kenyataan bahwa aku menjual laguku di club malam sangat memalukan. Tapi aku butuh uang untuk bertahan hidup. Gadis aneh itu yang telah membuatku melakukan hal tersebut. Dia bilang, kita tidak pernah tahu siapa yang akan datang ke club malam. Tapi pasti seseorang yang tidak asing dengan musik. Oleh karena itu dia mengenalkanku pada atasannya di club malam tempat ia bekerja. Siapa tahu ada seseorang yang akan mengenali kualitas musikku, dan membuka peluang bagiku. Tidak ada jalan yang terlalu buruk untuk dicoba. Aku tidak bisa menyerah begitu saja dan kembali hanya karena sesuatu tidak berjalan sesuai keinginanku.

Jung Hoseok. Membosankan. Itulah kata yang paling tepat untuk mendiskripsikan kehidupanku yang teramat sangat monoton ini. Roses are red, violets are blue, my life is flat, nothing fun to do. Aaah, ini tidak benar. Aku mulai berpuisi. Aku harus segera menguraikan benang kusut dalam otakku satu per satu, agar aku tidak kehilangan kewarasanku. Pertama, aku harus mengakhiri kesalahpahaman antara aku dan Taehyung. Aku berpikir terlalu rumit. Sebenarnya aku hanya perlu berkata maaf, dan semua akan kembali baik-baik saja. Entah kenapa aku tidak mengatakannya hingga sekarang. Kedua, aku harus berhenti menghindari Jimin. Ini tidak adil, karena dia harus menjadi korban dari kekacauan yang kualami. Aku yang menyemangatinya untuk membuka lembar baru, tapi kini aku meninggalkannya. Yang dikatakan Taehyung benar, aku tidak bisa meminta orang lain memahami keadaanku bila aku tidak mengatakan apapun. Ketiga, aku harus menemukan Yoongi hyung, meski aku belum tahu bagaimana caranya. Keempat, aku harus menyelamatkan jiwaku, menari. Bila aku tidak bisa kembali menari, aku rasa aku akan meledak. Kemana lagi harus kulampiaskan energi ini? Mungkin aku akan berakhir dengan mencukur habis rambutku dan berubah menjadi biksu untuk mendapatkan ketenangan. Ayah tidak perlu khawatir aku akan cedera, karena yang kulakukan hanya berdiam diri dalam kuil dan membaca Paritta. Anggaplah itu semua adalah rencana yang kupunya, apa aku mampu melakukan eksekusi? Past tense tak seindah present tense, harapan tak seindah kenyataan.

Park Jimin. Aku rasa dunia ini memang sempit. Atau memang setiap orang sudah saling terhubung dengan benang tak terlihat? Seperti yang terjadi antara aku, Hoseok, dan Minjung. Pertemuanku dengan Minjung hari ini, membuatku semakin kagum pada Hoseok. Ternyata dia juga pernah melalui masa sulit dengan cedera yang dialaminya, yang membuatnya berhenti menari. Tapi berbeda dengan diriku yang memilih melarikan diri setelah suaraku yang terpecah, Hoseok bisa bangkit memperjuangkan hal yang dicintainya. Minjung tidak tahu kalau Hoseok masih menari, ia pikir Hoseok benar-benar berhenti setelah meninggalkan club tari. Apa ini artinya aku masih memiliki peluang untuk mengatasi traumaku? Sebenarnya ada terlalu banyak ketakutan. Aku takut kehilangan orang-orang di dekatku, tapi aku pikir bukan mereka yang meninggalkanku, aku yang meninggalkan mereka. Jungkook bilang jangan bergantung pada siapapun, jangan percaya pada siapapun. Lalu siapa yang harus kupercaya? Aku bahkan tidak dapat mempercayai diriku sendiri. Terlalu banyak kebohongan. Aku tidak tahu apakah kondisiku sekarang ini memang sudah membaik, atau aku hanya berpura-pura baik-baik saja? Aku tidak seharusnya bertanya pada Jungkook apakah kesepian lebih baik dari kecewa? Saat ini aku kecewa pada diriku yang membuatku berakhir kesepian, dan tak bisa menjelaskan sesakit apa itu.

Kim Taehyung. Kehilangan Yoongi hyung, kehilangan Hoseok, dan terancam kehilangan pekerjaan. Seakan melepaskan impian fotografiku tidak lah cukup. Apalagi yang kehidupan ini ingin ambil dariku? Ini semua hanya semakin membenarkan ucapan Hoseok bahwa yang kulakukan hanya mengeluh. Menyedihkan. Mungkin ini alasanku kehilangan banyak hal, mungkin aku terlalu menyedihkan untuk memiliki apapun. Aku juga ingin menjadi seseorang yang keren. Seseorang yang bisa diandalkan, bukan yang hanya bisa mengandalkan. Seperti jalan yang kulalui saat ini, yang ada hanya kegelapan. Aku tidak menemukan jawaban dari tanya hatiku. Apakah aku masih bisa merubah nasibku, ataukah memang ini sudah menjadi takdirku? Aku berhenti di sebuah sisi gang. Mengeluarkan dompet dari dalam tasku. Sebuah foto terselip di dalamnya. Aku pun mengingat kembali alasanku datang ke Seoul. Ada orang-orang yang sedang berharap bisa mengandalkanku. Berharap aku bisa membawa perubahan pada kehidupan mereka. Keluargaku. Merekalah alasanku berada di sini. Bila bisa memilih, aku ingin menyerah saja. Kembali ke kampung halamanku, meninggalkan segala kecemasan  yang kupunya. Aku bahkan tidak masalah bila harus hidup sebagai seorang petani. Tapi apa aku siap, pulang dengan membawa kekecewaan bagi mereka?


Jeon Jungkook. Aku mendengarnya. Aku tahu tentang berita kematian Nyonya Kim. Ibu panti pergi ke acara pemakamannya. Aku? Tidak, aku tidak ikut datang. Tidak ada bedanya aku ada di sana atau tidak. Tidak ada yang mengharapkan kehadiranku. Apakah aku sama sekali tidak perduli? Tapi kenapa aku harus perduli? Dia bukan siapa-siapa bagiku. Semua orang membicarakan bahwa saat ini Seokjin hyung pasti mengalami masa yang sulit dengan kepergian ibunya, dan ayahnya yang koma. Haruskah aku menghiburnya? Tapi untuk apa? Dia mungkin tidak membutuhkanku. Ada banyak orang yang perduli padanya. Sejujurnya aku juga tidak tahu bagaimana membantunya merasa lebih baik. Haruskah kukatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja meskipun hidup sendirian? Aku tidak bisa berbohong sebagai cara menunjukkan empatiku. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku bisa memahami apa yang dia rasakan.Kehilangan. Apa itu? Seperti apa rasanya? Aku sama sekali tidak tahu. Aku tidak merasa pernah memiliki, jadi aku tidak pernah merasa kehilangan apapun. Orang tua. Aku tahu pasti mereka pernah ada, atau sesungguhnya masih ada entah dimana. Aku tidak mungkin tiba-tiba terlahir dari sebuah batu. Tapi nyatanya mereka tidak pernah bersamaku, jadi aku tidak merasa kehilangan mereka. Jika suatu saat ibu panti meninggal, apa aku akan merasa kehilangan dirinya? Aku tidak yakin. Perasaan muncul dari dalam hati. Kurasa sejauh ini aku tidak menempatkan siapapun dalam hatiku. 

DECISION EP.2: Part 11

The Truth

*Suara telepon rumah berdering*
“Haloo…?”, Seokjin mengangkat telepon.
“Halo Tuan Seokjin, saya sekretaris Tuan Kim.”
“Iya, ada apa Sejin-ssi? Apa lagi yang ayah minta untuk kulakukan?”
“Saya ingin menyampaikan bahwa saat ini tuan dan nyonya sedang berada di rumah sakit.”
“Apaa?! Masuk rumah sakit? Apa yang terjadi?”
“Mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang.”
“Aku kesana sekarang…”
Seokjin langsung menutup telepon. Meraih mantelnya dan bergegas menuju rumah sakit bersama supirnya.
Sesampainya di rumah sakit, dia berlari ke arah sekretaris ayahnya.
“Sejin-ssi, bagaimana keadaan ayah dan ibuku sekarang?”
“Ayah anda masih kritis, belum sadarkan diri. Nyonya baru saja sadar, dan mencari anda.”
Sekretaris Sejin mengantarkan Seokjin ke kamar ibunya. Seokjin duduk di samping ranjang ibunya, dan menggenggam tangannya.
“Ibu…., bertahanlah, ibu akan baik-baik saja…”
“Seokjin-ah, ibu rasa waktu ibu tidak akan lama lagi.”
“Kenapa ibu bicara seperti itu? Ibu akan baik-baik saja, percayalah… Jangan tinggalkan aku ibu.”
“Ada sesuatu yang harus ibu katakan padamu…”
“Ibu istirahat saja dulu, kita bisa bicara nanti setelah kondisi ibu membaik.”
“Tidak Seokjin-ah, ibu harus mengatakannya sekarang.”
“Baiklah, aku akan mendengarkan dengan baik.”, Seokijin mendekatkan kepalanya ke ibunya.
“Sebenarnya kau memiliki seorang adik Seokjin-ah.”
“Adik? Ibu punya seorang anak selain aku?”
“Biarkan ibu menyelesaikan cerita ibu dulu.”
Seokjin kembali fokus mendengarkan, dan ibunya menlanjutkan bercerita.
“Pernikahan ayah dan ibu adalah karena sebuah perjodohan. Meski begitu, ibu mencintai ayahmu. Tetapi ia tidak. Ia jatuh cinta pada wanita lain. Wanita itu bekerja sebagai seorang penyanyi di club malam. Ibu sempat memutuskan untuk berpisah, karena ibu tahu betapa ayahmu sangat mencintainya, dan fakta itu cukup menyakitkan. Tetapi kakekmu tidak merestui hubungan mereka, dan ibu juga tidak ingin kau tumbuh tanpa seorang ayah. Ayahmu tetap berhubungan dengannya secara diam-diam. Dan akhirnya mereka memiliki seorang anak. Namun wanita itu meninggal setelah melahirkan. Ibu tidak keberatan untuk membesarkannya. Tapi kakekmu tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Jadi ayahmu membawa anak tersebut ke panti asuhan…dan…”, Ibu Seokjin mulai kesulitan bernafas dan berkata-kata.
“Ibu…., aku akan memanggil dokter kesini.”, ucap Seokjin panik dengan wajah yang telah basah oleh air mata. Ia bangkit dari kursinya, tapi ditahan oleh tangan ibunya.
“Seokjin-ah, ibu hanya ingin bilang, kau tidak sendirian, meski ibu tak bisa bersamamu lagi.”
“Ibu, kumohon jangan berkata seperti itu….”
“Jungkook….”
“Apa?”
“Anak itu bernama Jungkook. Ibu yang memberinya nama.”
Itu adalah kalimat terakhir yang didengar Seokjin dari ibunya. Terakhir kalinya Seokjin bisa mendengar suara ibunya.

DECISION EP.2: Part 10

Han River

Jimin keluar dari sebuah mini market dengan dua kaleng soda di tangannya. Dia berjalan menuju tepi sungai Han, dan duduk di sebuah tanah berumput. Tempat di mana dia biasa menunggu Hoseok. Cukup sulit bagi Jimin menerima kenyataan bahwa Hoseok tidak akan pernah datang lagi. “Maafkan aku Jimin-ah, aku tidak akan datang lagi ke sungai Han.”, itu adalah kalimat terakhir yang Jimin dengar dari Hoseok. Saat itu Hoseok langsung memutus sambungan telepon tanpa memberi penjelasan apapun. Jimin sempat mendatangi sekolah Hoseok. Tapi langkahnya terlalu pendek untuk mengejar Hoseok yang sudah masuk ke dalam mobil. Kemudian Jimin melihat Taehyung.
“Taehyung-ah….”
“Park Jimin, kenapa kau disini?”
“Bisa kita bicara sebentar?”
“Aku harus bekerja setelah ini. Apakah sangat penting? Kenapa tidak menelepon saja?”
“Kenapa kau tidak pernah datang ke sungai Han bersama Hoseok?”
“Aaah, soal itu. Apa dia tidak cerita apapun padamu? Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi sedang ada kesalahpahaman diantara kami.”
“Jadi itu alasan kalian berdua tidak lagi datang ke sungai Han?”
“Hah? Aku pikir hanya aku yang tidak pergi kesana. Jadi maksudmu Hoseok juga tidak pernah kesana lagi?”
“Iya, dia tidak pernah datang lagi. Dia tidak menjawab panggilan telepon ataupun membalas pesanku, maka dari itu aku datang ke sini untuk menemuinya.”
“Aku sama sekali tidak tahu tentang hal itu. Jimin-ah, aku benar-benar harus pergi ke tempat kerja sekarang. Kau bisa menghubungiku kalau ada apa-apa. Aku pergi dulu ya…”
“Baiklah. Sampai jumpa…”
Sampai saat ini Jimin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Hoseok. Kabar terakhir yang dia terima dari Taehyung adalah hubungan antara Hoseok dan Taehyung belum juga membaik.
Masih tenggelam ke dalam pikirannya, tiba-tiba ada yang memanggil Jimin.
“Park Jimin-ssi….”
Jimin menoleh ke arah suara itu.
“Ah, ternyata benar kau memang Jimin.”, gadis itu tersenyum pada Jimin, kemudian berkata kepada kedua temannya, “Kalian duluan saja, nanti aku menyusul.”
Setelah kedua temannya berjalan pergi, gadis itu duduk di sebelah Jimin. Masih dengan wajah tersenyumnya, ia berkata, “ Bagaimana kabarmu?”
Sedikit kaget dengan pertemuan yang tiba-tiba, tapi Jimin tersenyum dan menjawab, “Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja.”
“Jadi sekarang kau bersekolah di sekolah khusus laki-laki?”, gadis itu menatap seragam yang Jimin kenakan.
Jimin menjawab dengan anggukan.
“Apa kau sedang menunggu seseorang?”, tanya gadis itu lagi.
“Tidak, aku tidak menunggu siapa pun.”
“Kau membawa dua soda untuk kau minum sendiri?”
“Apa kau mau?”, Jimin menyodorkan sekaleng soda.
Tanpa ragu gadis itu meraihnya dan mulai meminumnya.
“Jadi apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian?”, gadis itu sungguh penuh dengan pertanyaan.
“Tidak ada yang spesial, hanya duduk dan minum soda.”
“Baiklah kalau kau berkata seperti itu. Meski dari perspektifku yang terlihat adalah seorang pria yang menunggu seorang gadis yang dicintainya, tetapi gadis itu tidak pernah datang. Kau terlihat seperti baru dicampakkan.”
“Minjung-ah, kau sama sekali tidak berubah, berkata sesuka hatimu.”
“Dan kau sudah banyak berubah.”
“Hah?”
“Kau terlihat sangat buruk sebelum memutuskan untuk pindah sekolah. Tapi aku bisa melihat kalau kau sekarang bahkan lebih baik dibanding sebelum insiden itu terjadi.”
“Benarkah? Kau mengatakan itu semua padahal baru bersamaku beberapa menit.”
“Apakah ini artinya kau sudah bisa mengatasi traumamu?”
“Daripada mencoba memperbaiki rumah yang telah runtuh, aku memutuskan mencoba pindah ke rumah yang baru.”
“Apakah rumah barumu lebih nyaman?”
“Bisa dikatakan sangat nyaman. Tapi kini rumah itu hanya sebuah bangunan kosong yang telah kehilangan nyawanya.”
“Apa rumah itu adalah pemilik soda ini?”, Minjung menggoyangkan kaleng yang digenggamnya.
“Apa kau sungguh mengerti arah pembicaraanku?”
“Kau pikir aku ini bodoh? Jangan-jangan itu alasanmu memilih berjuang melawan traumamu sendirian dari pada berbagi denganku? Memutuskan pindah sekolah dan meninggalkan teman-temanmu?”
“Bukan seperti itu. Saat itu aku benar-benar tidak dapat berpikir dengan benar. Seperti yang kau bilang tadi, aku rasa sekarang aku sudah berubah.”
“Jadi, siapa nama gadis itu?”
“Dia bukan seorang gadis.”
“Astaga! Apakah orientasimu sekarang berubah setelah hanya bergaul dengan para pria di sekolah?”
“Ini tidak seperti yang kau bayangkan.”, Jimin menjitak kepala Minjung.
“Aww, tidak perlu memukul kepalaku.”, Minjung mengusap-usap kepalanya.
“Namanya Hoseok, Jung Hoseok.”
“Jung Hoseok?”, ulang Minjung.
“Iya.”
“Apa dia teman sekelasmu?”
“Bukan.”
“Beda kelas?”
“Bukan. Kami tidak satu sekolah.”
“Lalu, bagaimana kau mengenalnya?”
“Aku melihatnya saat sedang menari di jalan, saling berkenalan, dan begitulah, kami menjadi teman.”
Minjung mengeluarkan ponsel dari sakunya.
“Apakah ini Jung Hoseok yang kau maksud?”, Minjung menunjukkan sebuah foto dalam ponselnya.
“Kenapa kau bisa berfoto dengannya?”
“Jadi benar dia Jung Hoseok yang kau ceritakan?”
“Iyaa. Kau mengenalnya? Apa kalian dekat?”
“Dulu kami berada di club tari yang sama saat SMP. Aku pikir dia sudah berhenti menari. Jimin-ah, apakah kau bisa membantuku bertemu dengan Hoseok?”
“Aku harap aku juga bisa menemuinya.”, jawab Jimin sambil menatap langit yang kini sudah berubah senja.

DECISION EP.2: Part 9

An Agreement

Kembali pada hari di mana Seokjin baru mendapat pukulan dari Namjoon. Dia masuk ke kamarnya setelah menjawab pertanyaan ayahnya.
Seokjin terduduk, menyandarkan tubuhnya pada pintu yang baru saja dia tutup. Air matanya tidak dapat ia tahan lagi. Dia tidak pernah berharap ini semua terjadi. Sama sekali tidak terpikir olehnya untuk menyakiti Namjoon. Dadanya terasa sangat sesak, hingga ia memukul-mukulkan tangannya ke dada. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menjauh dari orang-orang yang dia sayang. Lebih baik dia dibenci dari pada harus melihat mereka menderita akibat keinginannya memperjuangkan hal yang ia cinta. Impiannya tidak lebih penting dibandingkan sahabatnya.
Semua ini bermula ketika Seokjin mengutarakan keinginannya bermain gitar. Malam itu, usai makan malam keluarga, Seokjin pergi ke ruang kerja ayahnya.
*tok tok tok (suara pintu diketuk)*
“Masuk”, sahut ayah Seokjin.
“Apa ayah sedang sibuk?”, tanya Seokjin hati-hati, menyembunyikan rasa takutnya.
“Kenapa?”
“Aku ingin berbicara sebentar dengan ayah.”
“Duduklah.”, ucap ayah Seokjin sambil menatap dokumen yang sedang dipelajarinya di atas meja.
Seokjin pun duduk, dan kini saling berhadapan dengan ayahnya.
Ayah Seokjin melepas kacamata bacanya, dan menatap anak semata wayangnya tersebut. “Apa yang ingin kau katakan?”
“Aku ingin meminta sesuatu pada ayah.”
“Apa itu?”
“Aku ingin belajar bermain gitar.”
“Kau pikir kau ada waktu untuk hal itu? Waktu ujian sudah semakin dekat. Fokus saja pada persiapan ujianmu. Sekarang kembalilah ke kamar.”
Ayah Seokjin mulai meraih kembali berkas dokumen yang tadi disisihkannya. Tapi Seokjin belum beranjak dari duduknya.
“Aku yakin bisa mengatur waktuku dengan baik. Selama ini aku tidak pernah mengecewakan ayah. Aku berjanji akan bekerja keras untuk ujian, dan mendapatkan hasil yang baik. Aku selalu memberikan apa yang ayah minta, tidak bisakah ayah mengabulkan satu permintaanku saja?”, Seokjin mencoba bernegosiasi
“Apa sekarang kau ingin melawan ayah? Apa kau sudah merasa pintar, bersikap angkuh di depan ayahmu? Inilah sebabnya ayah memintamu berhenti bergaul dengan Namjoon. Kau pasti belajar menjadi seorang pemberontak darinya. Apa kau akan mencoba bunuh diri juga bila aku menolak permintaanmu?”
“Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Namjoon.”
“Berulang kali sudah ayah katakan jangan lagi bermain di atap sekolah. Kau pikir ayah tidak tahu kalau kau masih tetap menghabiskan waktu bersamanya disana?”
“Tapi kami hanya makan siang bersama di sana. Kenapa ayah membenci Namjoon? Padahal ayah tahu kami sudah bersahabat sejak kecil. Kenapa sekarang kedekatanku dengan Namjoon menjadi masalah bagi ayah?”
“Karena sekarang ayah tahu, Namjoon akan memberi pengaruh buruk padamu. Kalau kau tidak mau mendengarkan ayah untuk menjauhi Namjoon, ayah yang akan membuat Namjoon menjauhimu, dengan cara ayah.”
“Tapi keinginanku bermain gitar sungguh tidak ada hubungannya dengan Namjoon.”
“Oh, ayah tahu. Apa ini karena anak panti bernama Jungkook itu? Yang selalu bersama gitarnya? Ayah tidak suka kau terlalu dekat dengannya. Ayah mengajakmu ke panti agar kau juga bisa belajar tentang pengelolaan yayasan, bukan untuk bermain dengan anak itu.”
“Aku sama sekali tidak mengerti dengan pemikiran ayah. Alasan ayah melarangku berteman dengan Namjoon ataupun Jungkook sama sekali tidak masuk akal bagiku.”
“Suka atau tidak, ayah tidak ingin melihat kau bersama mereka. Ayah akan mencabut beasiswa Jungkook bila kau bersikeras berhubungan dengannya, dan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan hal yang lebih buruk lagi.”
“Apa ayah sungguh harus bertindak sejauh itu hanya karena sebuah permintaanku yang sederhana?”
“Dengarkan ayah baik-baik Kim Seokjin, ayah tidak pernah main-main dengan apa yang ayah katakan. Berhenti bicara omong kosong dan masuklah ke kamarmu!”

DECISION EP.2: Part 8

Silence Between Us

Taehyung menaiki tangga, menuju ke kelas setelah kembali dari kantin. Dari arah berlawanan Hoseok berjalan turun. Mereka tidak saling memandang, apa lagi menyapa.
Hoseok sadar bahwa ia mungkin sudah bersikap keterlaluan pada Taehyung. Tapi dia tidak ingin memulai pembicaraan. Dia akan membiarkan Taehyung untuk sementara waktu. Dengan sifat Taehyung yang sensitif, Hoseok pikir ini adalah yang terbaik, membiarkan Taehyung sendirian. Mengajaknya bicara sekarang, mungkin dapat memperburuk keadaan dengan perdebatan lebih lanjut.
Di sisi lain, Taehyung tahu bahwa apa yang diucapkan Hoseok ada benarnya. Tapi dia sudah mengatakan akan berhenti mengganggu Hoseok. Tidak ada keberanian dalam dirinya untuk memulai dan memperbaiki apa yang telah terjadi.
Kepergian Yoongi, pertengkaran antara dia dan Hoseok, membuat Taehyung tidak fokus menjalani hari-hari. Bukan hanya di sekolah, tapi juga di tempat kerja.
“Kim Taehyung, apa lagi ini? Wanita itu memesan Americano panas, bukan dingin. Kenapa kau terus membuat kesalahan akhir-akhir ini? Kau mengacaukan pesanan latte art, dan sekarang kau salah menulis pesanan? Apa memindahkanmu di bagian kasir tidak membuatmu belajar lebih baik? Sebaiknya kau bekerja di bagian dapur mulai besok, mencuci gelas dan piring kotor. Dan bila kau tetap membuat masalah, mungkin aku akan berakhir memecatmu.”
Untuk kesekian kalinya, Taehyung mendapat peringatan dari supervisornya. Kemudian seorang wanita datang.
“Maaf tuan Song, sebenarnya ini bukan salah Taehyung. Dia tidak salah mencatat pesanan, tapi aku yang salah membuatkan pesanan tersebut.”
“Jadi ini salahmu? Kau tidak pernah membuat kesalahan sebelumnya.”
“Maafkan aku tuan Song, aku tidak akan mengulanginya lagi.”, ucap wanita itu sambil membungkuk.
“Baiklah, aku memaafkan kalian berdua kali ini. Jangan sampai ada kesalahan lagi.”
Taehyung telah mengganti pakaiannya, bersiap untuk pulang. Dia berdiri di depan pintu kafe.
“Sunbae-nim…”, sapa Taehyung.
“Taehyung-ah, apa yang kau lakukan disini? Kenapa kau masih belum pulang?”
“Aku sengaja menunggu Jinhee sunbae.”
“Menungguku? Untuk apa?”
“Terimakasih sudah membantuku tadi.”, Taehyung membungkukkan badannya.
“Ooh, tidak masalah. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Aku pikir kau hanya sedang mengalami hari yang buruk saja. Dan satu lagi, kau tidak perlu memanggilku sunbae. Kau bisa memanggilku noona.”
Wajah Taehyung terlihat sedih. Melihat perubahan ekspresi itu, Jinhee berkata, “Ada apa? Apa aku salah bicara?”
“Ah, tidak…tidak apa-apa. Aku hanya teringat pada Yoongi hyung. Dia dulu juga melakukan hal yang sama. Memintaku tidak memanggilnya sunbae.”, jawab Taehyung sambil tersenyum.
“Taehyung-ah, bagaimana kalau aku mentraktirmu makan malam?”
Mereka berdua pergi ke sebuah kedai pinggir jalan. Menikmati makan malam sambil berbincang.
“Taehyung-ah, apa yang selama ini mengganggu pikiranmu adalah Min Yoongi?”
“Salah satunya iya. Aku merindukannya, meski dia tidak pernah bersikap manis padaku.”
“Hahahaa, kau benar. Sepertinya dia tidak pernah bersikap manis pada siapapun. Tapi aku dapat melihat bahwa dia cukup perhatian padamu. Kau tidak tahu kenapa dia tidak lagi datang ke tempat kerja?”
“Tidak. Aku hanya mendengar kabar bahwa dia pergi dari rumah. Aku tidak tahu apa alasannya. Aku rasa aku memang bukan seorang sahabat yang baik, bukan seseorang yang dapat diandalkan.”
“Kenapa kau berkata begitu?”
“Aku selalu bisa mengandalkan sahabatku di saat aku melalui waktu yang sulit, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka lalui, aku tidak melakukan apapun untuk mereka.”
“Taehyung-ah, itu bukan kesalahaanmu. Beberapa orang tidak ingin menunjukkan sisi terlemah dari diri mereka. Bukan karena tidak mempercayaimu untuk berbagi, hanya saja, tidak semua hal dapat dibagi. Terkadang dengan menguatkan seseorang, dia juga menguatkan dirinya sendiri.”
“Bukankah aku hanya orang yang egois bila aku hanya sebagai pihak yang menerima kebaikan seseorang?”
“Kalau kau egois, kau tidak akan duduk bersamaku dan menceritakan ini semua. Persahabatan bukan tentang siapa yang memberi atau menerima lebih banyak. Tidak ada perhitungan akan hal itu. Persahabatan juga tidak berarti tidak pernah bertengkar. Itu hal yang wajar. Semirip-miripnya seseorang, mereka adalah dua manusia yang berbeda. Saat kau dapat menerima kekurangan seseorang, dan tetap berada disampingnya apapun yang terjadi, itulah yang dinamakan sahabat.”
“Jinhee noona…”
“Ya?”
“Aku rasa aku semakin merindukan Yoongi hyung setelah berbicara denganmu…”

DECISION EP.2: Part 7

Sudden Rebellion

Sebuah mobil hitam berhenti di depan restoran bergaya kuno. Namjoon keluar dari kursi penumpang bagian belakang, disusul oleh ayahnya. Malam ini pertemuan diadakan di restoran tersebut.
Namun tiba-tiba Namjoon melihat seseorang yang tidak asing di kejauhan. Entah apa yang dipikirkannya, ia langsung berlari ke arah orang itu.
“Hey, Kim Namjoon, mau kemana kau?”
Namjoon tetap berlari, mengabaikan teriakan ayahnya.
“Aku yakin itu Min Yoongi”, ucap Namjoon dalam hati.
Sesampainya di tempat itu, dia tidak menemukan keberadaan Yoongi. Ia berlari kesana-kemari, tapi sosok yang dilihatnya tadi sudah menghilang entah kemana.
Pandangannya tertuju pada sebuah club malam. Sepertinya tadi Yoongi keluar dari sana saat ia di melihatnya dari restoran.
Kakinya hendak melangkah masuk ke dalam club untuk mencari tahu, tapi sebuah tangan menariknya.
“Apa kau sudah gila? Ada apa denganmu, tiba-tiba berlari dan sekarang kau mau masuk ke dalam club malam?”
Ayah Namjoon sudah berdiri di depannya saat ini.
“Iya! Aku memang sudah gila!”, Namjoon berteriak kepada ayahnya.
“Apa yang baru saja kau katakan?”, ayah Namjoon terkejut dengan respon yang diterimanya. Selama ini Namjoon tidak pernah membantah ucapannya, dan sekarang Namjoon berteriak padanya.
“Aku bilang aku sudah gila. Aku tidak tahan lagi hidup sebagai boneka ayah. Kenapa ayah tidak membunuhku saja untuk mengakhiri semua penderitaan ini? Kenapa ayah tidak membiarkanku mati saja saat aku mencoba bunuh diri? Aku lelah dengan semua ini!”, Namjoon meneriakkan segala isi hatinya. “Ini terlalu menyakitkan…”, lanjutnya dengan sedikit terisak.
“Namjoon-ah….”
Ayah Namjoon tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Ia tiba-tiba tumbang dengan tangan meremas dadanya.
Namjoon panik melihat ayahnya. Ia menggoyang-goyang tubuh ayahnya, “Ayah…apa ayah mendengarku? Ayah…..”
Mengetahui ayahnya tidak bereaksi, Namjoon segera menghubungi ambulance dan membawa ayahnya ke rumah sakit.