Han River
Jimin keluar
dari sebuah mini market dengan dua kaleng soda di tangannya. Dia berjalan
menuju tepi sungai Han, dan duduk di sebuah tanah berumput. Tempat di mana dia
biasa menunggu Hoseok. Cukup sulit bagi Jimin menerima kenyataan bahwa Hoseok
tidak akan pernah datang lagi. “Maafkan
aku Jimin-ah, aku tidak akan datang lagi ke sungai Han.”, itu adalah
kalimat terakhir yang Jimin dengar dari Hoseok. Saat itu Hoseok langsung
memutus sambungan telepon tanpa memberi penjelasan apapun. Jimin sempat
mendatangi sekolah Hoseok. Tapi langkahnya terlalu pendek untuk mengejar Hoseok
yang sudah masuk ke dalam mobil. Kemudian Jimin melihat Taehyung.
“Taehyung-ah….”
“Park Jimin,
kenapa kau disini?”
“Bisa kita
bicara sebentar?”
“Aku harus
bekerja setelah ini. Apakah sangat penting? Kenapa tidak menelepon saja?”
“Kenapa kau
tidak pernah datang ke sungai Han bersama Hoseok?”
“Aaah, soal
itu. Apa dia tidak cerita apapun padamu? Aku tidak tahu bagaimana
menjelaskannya, tapi sedang ada kesalahpahaman diantara kami.”
“Jadi itu alasan
kalian berdua tidak lagi datang ke sungai Han?”
“Hah? Aku pikir
hanya aku yang tidak pergi kesana. Jadi maksudmu Hoseok juga tidak pernah
kesana lagi?”
“Iya, dia tidak
pernah datang lagi. Dia tidak menjawab panggilan telepon ataupun membalas
pesanku, maka dari itu aku datang ke sini untuk menemuinya.”
“Aku sama
sekali tidak tahu tentang hal itu. Jimin-ah, aku benar-benar harus pergi ke
tempat kerja sekarang. Kau bisa menghubungiku kalau ada apa-apa. Aku pergi dulu
ya…”
“Baiklah.
Sampai jumpa…”
Sampai saat ini
Jimin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Hoseok. Kabar terakhir yang
dia terima dari Taehyung adalah hubungan antara Hoseok dan Taehyung belum juga
membaik.
Masih tenggelam
ke dalam pikirannya, tiba-tiba ada yang memanggil Jimin.
“Park Jimin-ssi….”
Jimin menoleh
ke arah suara itu.
“Ah, ternyata
benar kau memang Jimin.”, gadis itu tersenyum pada Jimin, kemudian berkata
kepada kedua temannya, “Kalian duluan saja, nanti aku menyusul.”
Setelah kedua
temannya berjalan pergi, gadis itu duduk di sebelah Jimin. Masih dengan wajah
tersenyumnya, ia berkata, “ Bagaimana kabarmu?”
Sedikit kaget
dengan pertemuan yang tiba-tiba, tapi Jimin tersenyum dan menjawab, “Seperti
yang kau lihat, aku baik-baik saja.”
“Jadi sekarang
kau bersekolah di sekolah khusus laki-laki?”, gadis itu menatap seragam yang
Jimin kenakan.
Jimin menjawab
dengan anggukan.
“Apa kau sedang
menunggu seseorang?”, tanya gadis itu lagi.
“Tidak, aku
tidak menunggu siapa pun.”
“Kau membawa
dua soda untuk kau minum sendiri?”
“Apa kau mau?”,
Jimin menyodorkan sekaleng soda.
Tanpa ragu
gadis itu meraihnya dan mulai meminumnya.
“Jadi apa yang
sedang kau lakukan di sini sendirian?”, gadis itu sungguh penuh dengan
pertanyaan.
“Tidak ada yang
spesial, hanya duduk dan minum soda.”
“Baiklah kalau kau
berkata seperti itu. Meski dari perspektifku yang terlihat adalah seorang pria
yang menunggu seorang gadis yang dicintainya, tetapi gadis itu tidak pernah
datang. Kau terlihat seperti baru dicampakkan.”
“Minjung-ah,
kau sama sekali tidak berubah, berkata sesuka hatimu.”
“Dan kau sudah
banyak berubah.”
“Hah?”
“Kau terlihat
sangat buruk sebelum memutuskan untuk pindah sekolah. Tapi aku bisa melihat
kalau kau sekarang bahkan lebih baik dibanding sebelum insiden itu terjadi.”
“Benarkah? Kau
mengatakan itu semua padahal baru bersamaku beberapa menit.”
“Apakah ini
artinya kau sudah bisa mengatasi traumamu?”
“Daripada
mencoba memperbaiki rumah yang telah runtuh, aku memutuskan mencoba pindah ke
rumah yang baru.”
“Apakah rumah
barumu lebih nyaman?”
“Bisa dikatakan
sangat nyaman. Tapi kini rumah itu hanya sebuah bangunan kosong yang telah
kehilangan nyawanya.”
“Apa rumah itu
adalah pemilik soda ini?”, Minjung menggoyangkan kaleng yang digenggamnya.
“Apa kau
sungguh mengerti arah pembicaraanku?”
“Kau pikir aku
ini bodoh? Jangan-jangan itu alasanmu memilih berjuang melawan traumamu
sendirian dari pada berbagi denganku? Memutuskan pindah sekolah dan
meninggalkan teman-temanmu?”
“Bukan seperti
itu. Saat itu aku benar-benar tidak dapat berpikir dengan benar. Seperti yang kau
bilang tadi, aku rasa sekarang aku sudah berubah.”
“Jadi, siapa
nama gadis itu?”
“Dia bukan
seorang gadis.”
“Astaga! Apakah
orientasimu sekarang berubah setelah hanya bergaul dengan para pria di
sekolah?”
“Ini tidak
seperti yang kau bayangkan.”, Jimin menjitak kepala Minjung.
“Aww, tidak
perlu memukul kepalaku.”, Minjung mengusap-usap kepalanya.
“Namanya
Hoseok, Jung Hoseok.”
“Jung Hoseok?”,
ulang Minjung.
“Iya.”
“Apa dia teman
sekelasmu?”
“Bukan.”
“Beda kelas?”
“Bukan. Kami
tidak satu sekolah.”
“Lalu, bagaimana
kau mengenalnya?”
“Aku melihatnya
saat sedang menari di jalan, saling berkenalan, dan begitulah, kami menjadi
teman.”
Minjung
mengeluarkan ponsel dari sakunya.
“Apakah ini
Jung Hoseok yang kau maksud?”, Minjung menunjukkan sebuah foto dalam ponselnya.
“Kenapa kau
bisa berfoto dengannya?”
“Jadi benar dia
Jung Hoseok yang kau ceritakan?”
“Iyaa. Kau
mengenalnya? Apa kalian dekat?”
“Dulu kami
berada di club tari yang sama saat SMP. Aku pikir dia sudah berhenti menari.
Jimin-ah, apakah kau bisa membantuku bertemu dengan Hoseok?”
“Aku harap aku
juga bisa menemuinya.”, jawab Jimin sambil menatap langit yang kini sudah
berubah senja.