DECISION EP.2: Part 12

Monologue: “Worries, Choice”

Kim Namjoon. Aku memandang sebuah tubuh yang tidak berdaya di hadapanku. Rambut yang perlahan mulai memutih, kerutan yang perlahan menghiasi sudut-sudut matanya. Tanpa kusadari ayahku sudah semakin menua. Dia yang selalu bersikap keras dan memaksakan kehendaknya, kini terbaring di ranjang rumah sakit. Dan aku lah penyebab hal itu terjadi. Aku tidak tahu bahwa aku bisa memiliki perasaan seperti ini. Perasaan takut kehilangan. Lega rasanya begitu tahu keadaannya telah membaik. Tapi dia harus tetap beristirahat di rumah sakit untuk sementara waktu. Tidak ada percakapan diantara kami. Aku hanya menemaninya dalam diam. Mungkin ayah terlalu lemah untuk mengomel, dan aku hanya tidak berani berkata apapun. Sungguh aku ingin minta maaf atas kelakuanku, meski semua yang telah kukatakan adalah sebuah kejujuran. Aku takut salah bicara dan membuat kondisinya kembali memburuk. Berbicara tentang kehilangan, aku penasaran dengan kondisi Seokjin hyung saat ini. Apakah dia baik-baik saja? Pasti tidak. Aku harap aku bisa berada di sampingnya untuk melalui itu semua. Tapi apakah kehadiranku akan membuatnya merasa lebih baik? Haruskah aku tetap datang meski dia memintaku pergi? Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Di sisi lain aku masih ingin mencari tahu keberadaan Yoongi. Aku yakin yang kulihat malam itu adalah dirinya. Tapi aku tidak bisa kembali lagi ke tempat itu, setelah serangan jantung yang dialami ayahku. Tidak untuk saat ini.

Kim Seokjin. Aku dapat mencium dengan jelas aroma ibuku. Kemudian aku merasakan sensasi basah di pipiku. Apa aku menangis? Kubuka kedua mataku. Seluruh ruangan dipenuhi dengan warna peach. Dinding, tirai, hingga selimut yang menutupi tubuhku saat ini. Aku rasa aku tertidur di kamar orang tuaku usai acara pemakaman berakhir. Aku tertidur sambil memeluk salah satu baju ibu. Aku memeluknya semakin erat, menelungkupkan seluruh tubuhku. Ibu bilang aku tidak akan sendirian, tapi aku sekarang sendirian bu…  Ayah belum juga membuka matanya. Namjoon-ah, aku harap kau ada di sini, apa kau bisa mendengarku? Sungguh tidak ada yang kulakukan selain menangis. Andai ayah tidak koma, ia pasti sudah memakiku. Jauh dalam hatiku sedikit tertawa menanggapi kenyataan bahwa ayahku koma. Apa aku sudah gila?? Sesaat aku berpikir bahwa ayah memang pantas dihukum atas kelakuannya padaku selama ini, atas perlakuannya terhadap ibu selama ini. Kenapa bukan ayah saja yang pergi, kenapa harus ibu yang meninggalkanku? Tapi bila ayah ikut pergi, aku benar-benar akan menjadi sebatang kara. Jungkook, aku lupa tentang dia. Setelah mengetahui kebenaran yang ada, aku tidak tahu bagaimana harus menerimanya. Haruskah aku bahagia karena ternyata aku memiliki adik laki-laki, dan adik laki-laki itu adalah Jungkook? Atau aku harus membencinya karena ibunya adalah penyebab ketidakbahagiaan dalam hidupku dan ibuku? Tidak, itu bukan yang ibu inginkan. Ibu tidak akan menginginkanku membenci siapapun. Baik itu ayah, wanita itu, ataupun Jungkook. Saat ini aku hanyalah seorang anak ayam yang kehilangan arah. Aku merindukanmu bu….

Min Yoongi. Bocah-bocah itu tidak pernah menyerah untuk menghubungiku. Jung Hoseok dan Kim Taehyung. Haruskah aku merespon mereka? Tidak. Aku tidak boleh bersikap setengah-setengah. Aku telah memutuskan untuk pergi, meninggalkan segalanya, dan memulai hidup yang baru. Aku tidak boleh membiarkan siapapun mengetahui keberadaanku, atau ayah akan bisa menemukanku. Apakah ayah dan ibu baik-baik saja di rumah? Aku tidak boleh kembali sebelum aku sukses. Aku tidak akan mengecewakan ibu. Kenyataan bahwa aku menjual laguku di club malam sangat memalukan. Tapi aku butuh uang untuk bertahan hidup. Gadis aneh itu yang telah membuatku melakukan hal tersebut. Dia bilang, kita tidak pernah tahu siapa yang akan datang ke club malam. Tapi pasti seseorang yang tidak asing dengan musik. Oleh karena itu dia mengenalkanku pada atasannya di club malam tempat ia bekerja. Siapa tahu ada seseorang yang akan mengenali kualitas musikku, dan membuka peluang bagiku. Tidak ada jalan yang terlalu buruk untuk dicoba. Aku tidak bisa menyerah begitu saja dan kembali hanya karena sesuatu tidak berjalan sesuai keinginanku.

Jung Hoseok. Membosankan. Itulah kata yang paling tepat untuk mendiskripsikan kehidupanku yang teramat sangat monoton ini. Roses are red, violets are blue, my life is flat, nothing fun to do. Aaah, ini tidak benar. Aku mulai berpuisi. Aku harus segera menguraikan benang kusut dalam otakku satu per satu, agar aku tidak kehilangan kewarasanku. Pertama, aku harus mengakhiri kesalahpahaman antara aku dan Taehyung. Aku berpikir terlalu rumit. Sebenarnya aku hanya perlu berkata maaf, dan semua akan kembali baik-baik saja. Entah kenapa aku tidak mengatakannya hingga sekarang. Kedua, aku harus berhenti menghindari Jimin. Ini tidak adil, karena dia harus menjadi korban dari kekacauan yang kualami. Aku yang menyemangatinya untuk membuka lembar baru, tapi kini aku meninggalkannya. Yang dikatakan Taehyung benar, aku tidak bisa meminta orang lain memahami keadaanku bila aku tidak mengatakan apapun. Ketiga, aku harus menemukan Yoongi hyung, meski aku belum tahu bagaimana caranya. Keempat, aku harus menyelamatkan jiwaku, menari. Bila aku tidak bisa kembali menari, aku rasa aku akan meledak. Kemana lagi harus kulampiaskan energi ini? Mungkin aku akan berakhir dengan mencukur habis rambutku dan berubah menjadi biksu untuk mendapatkan ketenangan. Ayah tidak perlu khawatir aku akan cedera, karena yang kulakukan hanya berdiam diri dalam kuil dan membaca Paritta. Anggaplah itu semua adalah rencana yang kupunya, apa aku mampu melakukan eksekusi? Past tense tak seindah present tense, harapan tak seindah kenyataan.

Park Jimin. Aku rasa dunia ini memang sempit. Atau memang setiap orang sudah saling terhubung dengan benang tak terlihat? Seperti yang terjadi antara aku, Hoseok, dan Minjung. Pertemuanku dengan Minjung hari ini, membuatku semakin kagum pada Hoseok. Ternyata dia juga pernah melalui masa sulit dengan cedera yang dialaminya, yang membuatnya berhenti menari. Tapi berbeda dengan diriku yang memilih melarikan diri setelah suaraku yang terpecah, Hoseok bisa bangkit memperjuangkan hal yang dicintainya. Minjung tidak tahu kalau Hoseok masih menari, ia pikir Hoseok benar-benar berhenti setelah meninggalkan club tari. Apa ini artinya aku masih memiliki peluang untuk mengatasi traumaku? Sebenarnya ada terlalu banyak ketakutan. Aku takut kehilangan orang-orang di dekatku, tapi aku pikir bukan mereka yang meninggalkanku, aku yang meninggalkan mereka. Jungkook bilang jangan bergantung pada siapapun, jangan percaya pada siapapun. Lalu siapa yang harus kupercaya? Aku bahkan tidak dapat mempercayai diriku sendiri. Terlalu banyak kebohongan. Aku tidak tahu apakah kondisiku sekarang ini memang sudah membaik, atau aku hanya berpura-pura baik-baik saja? Aku tidak seharusnya bertanya pada Jungkook apakah kesepian lebih baik dari kecewa? Saat ini aku kecewa pada diriku yang membuatku berakhir kesepian, dan tak bisa menjelaskan sesakit apa itu.

Kim Taehyung. Kehilangan Yoongi hyung, kehilangan Hoseok, dan terancam kehilangan pekerjaan. Seakan melepaskan impian fotografiku tidak lah cukup. Apalagi yang kehidupan ini ingin ambil dariku? Ini semua hanya semakin membenarkan ucapan Hoseok bahwa yang kulakukan hanya mengeluh. Menyedihkan. Mungkin ini alasanku kehilangan banyak hal, mungkin aku terlalu menyedihkan untuk memiliki apapun. Aku juga ingin menjadi seseorang yang keren. Seseorang yang bisa diandalkan, bukan yang hanya bisa mengandalkan. Seperti jalan yang kulalui saat ini, yang ada hanya kegelapan. Aku tidak menemukan jawaban dari tanya hatiku. Apakah aku masih bisa merubah nasibku, ataukah memang ini sudah menjadi takdirku? Aku berhenti di sebuah sisi gang. Mengeluarkan dompet dari dalam tasku. Sebuah foto terselip di dalamnya. Aku pun mengingat kembali alasanku datang ke Seoul. Ada orang-orang yang sedang berharap bisa mengandalkanku. Berharap aku bisa membawa perubahan pada kehidupan mereka. Keluargaku. Merekalah alasanku berada di sini. Bila bisa memilih, aku ingin menyerah saja. Kembali ke kampung halamanku, meninggalkan segala kecemasan  yang kupunya. Aku bahkan tidak masalah bila harus hidup sebagai seorang petani. Tapi apa aku siap, pulang dengan membawa kekecewaan bagi mereka?


Jeon Jungkook. Aku mendengarnya. Aku tahu tentang berita kematian Nyonya Kim. Ibu panti pergi ke acara pemakamannya. Aku? Tidak, aku tidak ikut datang. Tidak ada bedanya aku ada di sana atau tidak. Tidak ada yang mengharapkan kehadiranku. Apakah aku sama sekali tidak perduli? Tapi kenapa aku harus perduli? Dia bukan siapa-siapa bagiku. Semua orang membicarakan bahwa saat ini Seokjin hyung pasti mengalami masa yang sulit dengan kepergian ibunya, dan ayahnya yang koma. Haruskah aku menghiburnya? Tapi untuk apa? Dia mungkin tidak membutuhkanku. Ada banyak orang yang perduli padanya. Sejujurnya aku juga tidak tahu bagaimana membantunya merasa lebih baik. Haruskah kukatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja meskipun hidup sendirian? Aku tidak bisa berbohong sebagai cara menunjukkan empatiku. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku bisa memahami apa yang dia rasakan.Kehilangan. Apa itu? Seperti apa rasanya? Aku sama sekali tidak tahu. Aku tidak merasa pernah memiliki, jadi aku tidak pernah merasa kehilangan apapun. Orang tua. Aku tahu pasti mereka pernah ada, atau sesungguhnya masih ada entah dimana. Aku tidak mungkin tiba-tiba terlahir dari sebuah batu. Tapi nyatanya mereka tidak pernah bersamaku, jadi aku tidak merasa kehilangan mereka. Jika suatu saat ibu panti meninggal, apa aku akan merasa kehilangan dirinya? Aku tidak yakin. Perasaan muncul dari dalam hati. Kurasa sejauh ini aku tidak menempatkan siapapun dalam hatiku. 

Post a Comment