Monologue: “Worries, Choice”
Kim Namjoon. Aku memandang sebuah
tubuh yang tidak berdaya di hadapanku. Rambut yang perlahan mulai memutih,
kerutan yang perlahan menghiasi sudut-sudut matanya. Tanpa kusadari ayahku
sudah semakin menua. Dia yang selalu bersikap keras dan memaksakan kehendaknya,
kini terbaring di ranjang rumah sakit. Dan aku lah penyebab hal itu terjadi.
Aku tidak tahu bahwa aku bisa memiliki perasaan seperti ini. Perasaan takut
kehilangan. Lega rasanya begitu tahu keadaannya telah membaik. Tapi dia harus
tetap beristirahat di rumah sakit untuk sementara waktu. Tidak ada percakapan
diantara kami. Aku hanya menemaninya dalam diam. Mungkin ayah terlalu lemah
untuk mengomel, dan aku hanya tidak berani berkata apapun. Sungguh aku ingin
minta maaf atas kelakuanku, meski semua yang telah kukatakan adalah sebuah
kejujuran. Aku takut salah bicara dan membuat kondisinya kembali memburuk.
Berbicara tentang kehilangan, aku penasaran dengan kondisi Seokjin hyung saat
ini. Apakah dia baik-baik saja? Pasti tidak. Aku harap aku bisa berada di
sampingnya untuk melalui itu semua. Tapi apakah kehadiranku akan membuatnya
merasa lebih baik? Haruskah aku tetap datang meski dia memintaku pergi? Aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan. Di sisi lain aku masih ingin mencari tahu
keberadaan Yoongi. Aku yakin yang kulihat malam itu adalah dirinya. Tapi aku
tidak bisa kembali lagi ke tempat itu, setelah serangan jantung yang dialami
ayahku. Tidak untuk saat ini.
Kim Seokjin. Aku dapat
mencium dengan jelas aroma ibuku. Kemudian aku merasakan sensasi basah di
pipiku. Apa aku menangis? Kubuka kedua mataku. Seluruh ruangan dipenuhi dengan
warna peach. Dinding, tirai, hingga selimut yang menutupi tubuhku saat ini. Aku
rasa aku tertidur di kamar orang tuaku usai acara pemakaman berakhir. Aku
tertidur sambil memeluk salah satu baju ibu. Aku memeluknya semakin erat,
menelungkupkan seluruh tubuhku. Ibu bilang aku tidak akan sendirian, tapi aku
sekarang sendirian bu… Ayah belum juga
membuka matanya. Namjoon-ah, aku harap kau ada di sini, apa kau bisa mendengarku?
Sungguh tidak ada yang kulakukan selain menangis. Andai ayah tidak koma, ia
pasti sudah memakiku. Jauh dalam hatiku sedikit tertawa menanggapi kenyataan
bahwa ayahku koma. Apa aku sudah gila?? Sesaat aku berpikir bahwa ayah memang
pantas dihukum atas kelakuannya padaku selama ini, atas perlakuannya terhadap
ibu selama ini. Kenapa bukan ayah saja yang pergi, kenapa harus ibu yang
meninggalkanku? Tapi bila ayah ikut pergi, aku benar-benar akan menjadi
sebatang kara. Jungkook, aku lupa tentang dia. Setelah mengetahui kebenaran
yang ada, aku tidak tahu bagaimana harus menerimanya. Haruskah aku bahagia
karena ternyata aku memiliki adik laki-laki, dan adik laki-laki itu adalah
Jungkook? Atau aku harus membencinya karena ibunya adalah penyebab
ketidakbahagiaan dalam hidupku dan ibuku? Tidak, itu bukan yang ibu inginkan.
Ibu tidak akan menginginkanku membenci siapapun. Baik itu ayah, wanita itu,
ataupun Jungkook. Saat ini aku hanyalah seorang anak ayam yang kehilangan arah.
Aku merindukanmu bu….
Min Yoongi. Bocah-bocah
itu tidak pernah menyerah untuk menghubungiku. Jung Hoseok dan Kim Taehyung.
Haruskah aku merespon mereka? Tidak. Aku tidak boleh bersikap
setengah-setengah. Aku telah memutuskan untuk pergi, meninggalkan segalanya,
dan memulai hidup yang baru. Aku tidak boleh membiarkan siapapun mengetahui
keberadaanku, atau ayah akan bisa menemukanku. Apakah ayah dan ibu baik-baik
saja di rumah? Aku tidak boleh kembali sebelum aku sukses. Aku tidak akan
mengecewakan ibu. Kenyataan bahwa aku menjual laguku di club malam sangat
memalukan. Tapi aku butuh uang untuk bertahan hidup. Gadis aneh itu yang telah
membuatku melakukan hal tersebut. Dia bilang, kita tidak pernah tahu siapa yang
akan datang ke club malam. Tapi pasti seseorang yang tidak asing dengan musik.
Oleh karena itu dia mengenalkanku pada atasannya di club malam tempat ia
bekerja. Siapa tahu ada seseorang yang akan mengenali kualitas musikku, dan
membuka peluang bagiku. Tidak ada jalan yang terlalu buruk untuk dicoba. Aku
tidak bisa menyerah begitu saja dan kembali hanya karena sesuatu tidak berjalan
sesuai keinginanku.
Jung Hoseok. Membosankan.
Itulah kata yang paling tepat untuk mendiskripsikan kehidupanku yang teramat
sangat monoton ini. Roses are red, violets are blue, my life is flat, nothing
fun to do. Aaah, ini tidak benar. Aku mulai berpuisi. Aku harus segera
menguraikan benang kusut dalam otakku satu per satu, agar aku tidak kehilangan
kewarasanku. Pertama, aku harus mengakhiri kesalahpahaman antara aku dan
Taehyung. Aku berpikir terlalu rumit. Sebenarnya aku hanya perlu berkata maaf,
dan semua akan kembali baik-baik saja. Entah kenapa aku tidak mengatakannya
hingga sekarang. Kedua, aku harus berhenti menghindari Jimin. Ini tidak adil,
karena dia harus menjadi korban dari kekacauan yang kualami. Aku yang
menyemangatinya untuk membuka lembar baru, tapi kini aku meninggalkannya. Yang
dikatakan Taehyung benar, aku tidak bisa meminta orang lain memahami keadaanku
bila aku tidak mengatakan apapun. Ketiga, aku harus menemukan Yoongi hyung,
meski aku belum tahu bagaimana caranya. Keempat, aku harus menyelamatkan
jiwaku, menari. Bila aku tidak bisa kembali menari, aku rasa aku akan meledak.
Kemana lagi harus kulampiaskan energi ini? Mungkin aku akan berakhir dengan
mencukur habis rambutku dan berubah menjadi biksu untuk mendapatkan ketenangan.
Ayah tidak perlu khawatir aku akan cedera, karena yang kulakukan hanya berdiam
diri dalam kuil dan membaca Paritta. Anggaplah itu semua adalah rencana yang
kupunya, apa aku mampu melakukan eksekusi? Past tense tak seindah present
tense, harapan tak seindah kenyataan.
Park Jimin. Aku rasa dunia
ini memang sempit. Atau memang setiap orang sudah saling terhubung dengan
benang tak terlihat? Seperti yang terjadi antara aku, Hoseok, dan Minjung.
Pertemuanku dengan Minjung hari ini, membuatku semakin kagum pada Hoseok.
Ternyata dia juga pernah melalui masa sulit dengan cedera yang dialaminya, yang
membuatnya berhenti menari. Tapi berbeda dengan diriku yang memilih melarikan
diri setelah suaraku yang terpecah, Hoseok bisa bangkit memperjuangkan hal yang
dicintainya. Minjung tidak tahu kalau Hoseok masih menari, ia pikir Hoseok
benar-benar berhenti setelah meninggalkan club tari. Apa ini artinya aku masih
memiliki peluang untuk mengatasi traumaku? Sebenarnya ada terlalu banyak
ketakutan. Aku takut kehilangan orang-orang di dekatku, tapi aku pikir bukan
mereka yang meninggalkanku, aku yang meninggalkan mereka. Jungkook bilang
jangan bergantung pada siapapun, jangan percaya pada siapapun. Lalu siapa yang
harus kupercaya? Aku bahkan tidak dapat mempercayai diriku sendiri. Terlalu
banyak kebohongan. Aku tidak tahu apakah kondisiku sekarang ini memang sudah
membaik, atau aku hanya berpura-pura baik-baik saja? Aku tidak seharusnya
bertanya pada Jungkook apakah kesepian lebih baik dari kecewa? Saat ini aku
kecewa pada diriku yang membuatku berakhir kesepian, dan tak bisa menjelaskan
sesakit apa itu.
Kim Taehyung. Kehilangan
Yoongi hyung, kehilangan Hoseok, dan terancam kehilangan pekerjaan. Seakan
melepaskan impian fotografiku tidak lah cukup. Apalagi yang kehidupan ini ingin
ambil dariku? Ini semua hanya semakin membenarkan ucapan Hoseok bahwa yang
kulakukan hanya mengeluh. Menyedihkan. Mungkin ini alasanku kehilangan banyak
hal, mungkin aku terlalu menyedihkan untuk memiliki apapun. Aku juga ingin
menjadi seseorang yang keren. Seseorang yang bisa diandalkan, bukan yang hanya
bisa mengandalkan. Seperti jalan yang kulalui saat ini, yang ada hanya
kegelapan. Aku tidak menemukan jawaban dari tanya hatiku. Apakah aku masih bisa
merubah nasibku, ataukah memang ini sudah menjadi takdirku? Aku berhenti di
sebuah sisi gang. Mengeluarkan dompet dari dalam tasku. Sebuah foto terselip di
dalamnya. Aku pun mengingat kembali alasanku datang ke Seoul. Ada orang-orang
yang sedang berharap bisa mengandalkanku. Berharap aku bisa membawa perubahan
pada kehidupan mereka. Keluargaku. Merekalah alasanku berada di sini. Bila bisa
memilih, aku ingin menyerah saja. Kembali ke kampung halamanku, meninggalkan
segala kecemasan yang kupunya. Aku
bahkan tidak masalah bila harus hidup sebagai seorang petani. Tapi apa aku
siap, pulang dengan membawa kekecewaan bagi mereka?
Jeon Jungkook. Aku
mendengarnya. Aku tahu tentang berita kematian Nyonya Kim. Ibu panti pergi ke
acara pemakamannya. Aku? Tidak, aku tidak ikut datang. Tidak ada bedanya aku
ada di sana atau tidak. Tidak ada yang mengharapkan kehadiranku. Apakah aku
sama sekali tidak perduli? Tapi kenapa aku harus perduli? Dia bukan siapa-siapa
bagiku. Semua orang membicarakan bahwa saat ini Seokjin hyung pasti mengalami
masa yang sulit dengan kepergian ibunya, dan ayahnya yang koma. Haruskah aku
menghiburnya? Tapi untuk apa? Dia mungkin tidak membutuhkanku. Ada banyak orang
yang perduli padanya. Sejujurnya aku juga tidak tahu bagaimana membantunya
merasa lebih baik. Haruskah kukatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja
meskipun hidup sendirian? Aku tidak bisa berbohong sebagai cara menunjukkan
empatiku. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku bisa memahami apa yang dia
rasakan.Kehilangan. Apa itu? Seperti apa rasanya? Aku sama sekali tidak tahu.
Aku tidak merasa pernah memiliki, jadi aku tidak pernah merasa kehilangan
apapun. Orang tua. Aku tahu pasti mereka pernah ada, atau sesungguhnya masih
ada entah dimana. Aku tidak mungkin tiba-tiba terlahir dari sebuah batu. Tapi
nyatanya mereka tidak pernah bersamaku, jadi aku tidak merasa kehilangan
mereka. Jika suatu saat ibu panti meninggal, apa aku akan merasa kehilangan
dirinya? Aku tidak yakin. Perasaan muncul dari dalam hati. Kurasa sejauh ini
aku tidak menempatkan siapapun dalam hatiku.