An Agreement
Kembali pada hari
di mana Seokjin baru mendapat pukulan dari Namjoon. Dia masuk ke kamarnya setelah
menjawab pertanyaan ayahnya.
Seokjin
terduduk, menyandarkan tubuhnya pada pintu yang baru saja dia tutup. Air
matanya tidak dapat ia tahan lagi. Dia tidak pernah berharap ini semua terjadi.
Sama sekali tidak terpikir olehnya untuk menyakiti Namjoon. Dadanya terasa
sangat sesak, hingga ia memukul-mukulkan tangannya ke dada. Dia tidak memiliki
pilihan lain selain menjauh dari orang-orang yang dia sayang. Lebih baik dia
dibenci dari pada harus melihat mereka menderita akibat keinginannya memperjuangkan
hal yang ia cinta. Impiannya tidak lebih penting dibandingkan sahabatnya.
Semua ini bermula
ketika Seokjin mengutarakan keinginannya bermain gitar. Malam itu, usai makan
malam keluarga, Seokjin pergi ke ruang kerja ayahnya.
*tok tok tok
(suara pintu diketuk)*
“Masuk”, sahut
ayah Seokjin.
“Apa ayah
sedang sibuk?”, tanya Seokjin hati-hati, menyembunyikan rasa takutnya.
“Kenapa?”
“Aku ingin
berbicara sebentar dengan ayah.”
“Duduklah.”,
ucap ayah Seokjin sambil menatap dokumen yang sedang dipelajarinya di atas
meja.
Seokjin pun
duduk, dan kini saling berhadapan dengan ayahnya.
Ayah Seokjin
melepas kacamata bacanya, dan menatap anak semata wayangnya tersebut. “Apa yang
ingin kau katakan?”
“Aku ingin
meminta sesuatu pada ayah.”
“Apa itu?”
“Aku ingin
belajar bermain gitar.”
“Kau pikir kau
ada waktu untuk hal itu? Waktu ujian sudah semakin dekat. Fokus saja pada
persiapan ujianmu. Sekarang kembalilah ke kamar.”
Ayah Seokjin
mulai meraih kembali berkas dokumen yang tadi disisihkannya. Tapi Seokjin belum
beranjak dari duduknya.
“Aku yakin bisa
mengatur waktuku dengan baik. Selama ini aku tidak pernah mengecewakan ayah.
Aku berjanji akan bekerja keras untuk ujian, dan mendapatkan hasil yang baik.
Aku selalu memberikan apa yang ayah minta, tidak bisakah ayah mengabulkan satu
permintaanku saja?”, Seokjin mencoba bernegosiasi
“Apa sekarang
kau ingin melawan ayah? Apa kau sudah merasa pintar, bersikap angkuh di depan
ayahmu? Inilah sebabnya ayah memintamu berhenti bergaul dengan Namjoon. Kau
pasti belajar menjadi seorang pemberontak darinya. Apa kau akan mencoba bunuh
diri juga bila aku menolak permintaanmu?”
“Ini sama
sekali tidak ada hubungannya dengan Namjoon.”
“Berulang kali
sudah ayah katakan jangan lagi bermain di atap sekolah. Kau pikir ayah tidak tahu
kalau kau masih tetap menghabiskan waktu bersamanya disana?”
“Tapi kami
hanya makan siang bersama di sana. Kenapa ayah membenci Namjoon? Padahal ayah
tahu kami sudah bersahabat sejak kecil. Kenapa sekarang kedekatanku dengan
Namjoon menjadi masalah bagi ayah?”
“Karena
sekarang ayah tahu, Namjoon akan memberi pengaruh buruk padamu. Kalau kau tidak
mau mendengarkan ayah untuk menjauhi Namjoon, ayah yang akan membuat Namjoon
menjauhimu, dengan cara ayah.”
“Tapi
keinginanku bermain gitar sungguh tidak ada hubungannya dengan Namjoon.”
“Oh, ayah tahu.
Apa ini karena anak panti bernama Jungkook itu? Yang selalu bersama gitarnya?
Ayah tidak suka kau terlalu dekat dengannya. Ayah mengajakmu ke panti agar kau
juga bisa belajar tentang pengelolaan yayasan, bukan untuk bermain dengan anak
itu.”
“Aku sama
sekali tidak mengerti dengan pemikiran ayah. Alasan ayah melarangku berteman
dengan Namjoon ataupun Jungkook sama sekali tidak masuk akal bagiku.”
“Suka atau
tidak, ayah tidak ingin melihat kau bersama mereka. Ayah akan mencabut beasiswa
Jungkook bila kau bersikeras berhubungan dengannya, dan tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan hal yang lebih buruk lagi.”
“Apa ayah sungguh
harus bertindak sejauh itu hanya karena sebuah permintaanku yang sederhana?”
“Dengarkan ayah
baik-baik Kim Seokjin, ayah tidak pernah main-main dengan apa yang ayah katakan.
Berhenti bicara omong kosong dan masuklah ke kamarmu!”