Monologue: “Current State”
Kim Namjoon. Berbicara
memang selalu lebih mudah daripada bertindak. Tidak ada yang berubah dari
hidupku. Karena aku tidak cukup berani melakukan apa yang ingin kulakukan, apa
yang seharusnya kulakukan. Aku masih menjalani hidup sebagai boneka ayah. Tepat
seperti saat ini. Keluar masuk kamar ganti, mencoba berbagai macam jas, yang
bagiku tidak ada bedanya satu dengan yang lain, yang tidak perlu lagi
kusebutkan apa warnanya. Hal yang paling mengerikan adalah, bahkan di akhir
hidupku kelak, aku akan terkubur bersama jas ini. Aku berkata pada diriku yang
berada dalam cermin, “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan tentang kematian,
karena Kim Namjoon sudah lama mati, tanpa sebuah acara pemakaman.”
Kim Seokjin. Aku memang
bodoh. Tidak heran ayah begitu keras menyuruhku belajar. Aku bukan lagi seorang
anak kecil yang percaya bahwa Santa akan memberiku hadiah bila aku berlaku
baik. Aku tidak seharusnya banyak berharap hanya karena semua hal yang kudengar
dari seorang penulis terkenal. Sedikit keberanian yang kumiliki, yang kupikir
dapat membuat hidupku sedikit lebih baik, justru menjadi boomerang yang
menghancurkanku. Aku seharusnya mengenal ayahku lebih baik setelah sekian lama
hidup bersamanya. Tapi apa yang sudah kulakukan? Meminta sesuatu padanya hanya
karena aku memberikan apa yang dia minta? Itu adalah sebuah kebodohan. Apa yang
kudapat dari permintaan sederhanaku? Baginya
itu hanyalah bentuk keangkuhan yang coba aku tunjukkan, dan membuatku
kehilangan lebih banyak hal lagi dalam hidupku.
Min Yoongi. Alasan
terbesarku untuk mengalah adalah ibuku. Aku merelakan impianku, karena tidak
ingin melihatnya menangis. Tapi ternyata, aku masih membuatnya menangis. Ibu
mengetuk pintu kamarku tengah malam. Tanpa menyalakan lampu, ia berjalan dan
duduk di tepi tempat tidur. Aku dapat melihat kesedihan di matanya, bahkan dalam kamarku yang gelap. Aku bertanya
kenapa, tapi dia hanya menangis. Tangannya yang hangat, menggenggam kedua
tanganku. Dia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Kemudian dengan menatap
dalam ke mataku, ia berkata,”Yoongi-yah… pergilah dari rumah…”
Jung Hoseok. Menari.
Jiwaku, hidupku, segalanya bagiku. Bertahun-tahun aku menjaganya, dan hanya
dalam sekejap mata, aku kehilangannya. Semua terjadi sangat cepat, tanpa
kuduga. Ayah begitu marah melihat video tarianku di internet. Aku tidak
memikirkan bahwa aku akan ketahuan dengan cara seperti ini. Menari di tempat
umum sama halnya dengan bom bunuh diri. Yang aku pikirkan saat itu adalah aku
bisa tetap menari meski kehilangan ruang latihanku. Aku lupa bahwa orang lain
bisa merekamku saat menari di jalanan dan menyebarluaskannya. Aku bukan seorang
idol yang perlu khawatir akan hal seperti itu, walaupun harus kuakui aku memang
cukup keren. Ini sama sekali bukan waktunya untuk merasa bangga. Tamatlah sudah
riwayatmu Jung Hoseok.
Park Jimin. Menyenangkan
diriku tanpa merusak kesenangan orang lain. Apa itu mungkin? Ya, itu mungkin
jika aku hanya hidup dengan diriku sendiri. Seperti sekarang. Sendirian. Tapi
tidak ada yang menyenangkan sama sekali dari kesendirian ini. Yang ada hanyalah
kesepian. Kenapa semua berakhir begini disaat aku baru memulai? Aku masih
berusaha menolak kenyataan dengan duduk di tepi sungai Han, bersama dua kaleng
soda, berharap dia akan datang. Meskipun logikaku tahu dia tidak akan pernah
datang lagi.
Kim Taehyung. Aku kembali
menjadi egois. Hanya perduli dengan apa yang aku rasakan saat ini. Dan aku
tidak merasa bersalah, seperti saat aku jatuh cinta pada fotografi. Aku mulai
enggan datang ke kafe. Latte art kini tidak menarik lagi. Bukan karena ekonomi
keluargaku yang mulai membaik. Bukan pula karena aku menemukan ketertarikan
pada hal lain. Aku tidak tahu bagaimana untuk menjelaskannya. Saat seseorang
menempati ruang hatimu, dan kemudian orang tersebut pergi. Sebagian hatimu
telah ikut pergi bersamanya. Dan semua terasa tidak menarik lagi sekarang. Aku
terlalu fokus pada perasaanku, hingga aku mengabaikan perasaan orang lain. Aku
tahu bukan hanya aku yang merasa kehilangan. Dua hati yang patah seharusnya
bisa saling melengkapi, tapi kami justru saling mematahkan. Sekalipun aku tidak
pernah membayangkan hari seperti ini akan datang. Hari dimana pertengkaran
tidak lagi dapat dihindarkan.
Jeon Jungkook. Pembohong.
Itulah sebabnya aku tidak boleh percaya pada siapapun. Ini adalah kesalahanku
sendiri. Aku terlalu terlena pada kebaikan yang kuterima. Seharusnya aku sadar
diri. Siapa aku, dan siapa dia. Entah kenapa kamarku terasa lebih sempit saat
ini. Mungkin karena aku yang telah tumbuh dewasa, atau karena keinginanku untuk
pergi dari sini yang semakin membesar. Sayangnya aku tidak bisa pergi begitu
saja hanya karena aku menginginkannya. Tapi aku pasti akan pergi, walau tanpa
bantuannya. Walau aku tidak tahu kapan itu akan terjadi.