DECISION EP.2: Part.1

Monologue: “Current State”

Kim Namjoon. Berbicara memang selalu lebih mudah daripada bertindak. Tidak ada yang berubah dari hidupku. Karena aku tidak cukup berani melakukan apa yang ingin kulakukan, apa yang seharusnya kulakukan. Aku masih menjalani hidup sebagai boneka ayah. Tepat seperti saat ini. Keluar masuk kamar ganti, mencoba berbagai macam jas, yang bagiku tidak ada bedanya satu dengan yang lain, yang tidak perlu lagi kusebutkan apa warnanya. Hal yang paling mengerikan adalah, bahkan di akhir hidupku kelak, aku akan terkubur bersama jas ini. Aku berkata pada diriku yang berada dalam cermin, “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan tentang kematian, karena Kim Namjoon sudah lama mati, tanpa sebuah acara pemakaman.”

Kim Seokjin. Aku memang bodoh. Tidak heran ayah begitu keras menyuruhku belajar. Aku bukan lagi seorang anak kecil yang percaya bahwa Santa akan memberiku hadiah bila aku berlaku baik. Aku tidak seharusnya banyak berharap hanya karena semua hal yang kudengar dari seorang penulis terkenal. Sedikit keberanian yang kumiliki, yang kupikir dapat membuat hidupku sedikit lebih baik, justru menjadi boomerang yang menghancurkanku. Aku seharusnya mengenal ayahku lebih baik setelah sekian lama hidup bersamanya. Tapi apa yang sudah kulakukan? Meminta sesuatu padanya hanya karena aku memberikan apa yang dia minta? Itu adalah sebuah kebodohan. Apa yang kudapat dari permintaan sederhanaku? Baginya  itu hanyalah bentuk keangkuhan yang coba aku tunjukkan, dan membuatku kehilangan lebih banyak hal lagi dalam hidupku.

Min Yoongi. Alasan terbesarku untuk mengalah adalah ibuku. Aku merelakan impianku, karena tidak ingin melihatnya menangis. Tapi ternyata, aku masih membuatnya menangis. Ibu mengetuk pintu kamarku tengah malam. Tanpa menyalakan lampu, ia berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Aku dapat melihat kesedihan di matanya, bahkan  dalam kamarku yang gelap. Aku bertanya kenapa, tapi dia hanya menangis. Tangannya yang hangat, menggenggam kedua tanganku. Dia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Kemudian dengan menatap dalam ke mataku, ia berkata,”Yoongi-yah… pergilah dari rumah…”

Jung Hoseok. Menari. Jiwaku, hidupku, segalanya bagiku. Bertahun-tahun aku menjaganya, dan hanya dalam sekejap mata, aku kehilangannya. Semua terjadi sangat cepat, tanpa kuduga. Ayah begitu marah melihat video tarianku di internet. Aku tidak memikirkan bahwa aku akan ketahuan dengan cara seperti ini. Menari di tempat umum sama halnya dengan bom bunuh diri. Yang aku pikirkan saat itu adalah aku bisa tetap menari meski kehilangan ruang latihanku. Aku lupa bahwa orang lain bisa merekamku saat menari di jalanan dan menyebarluaskannya. Aku bukan seorang idol yang perlu khawatir akan hal seperti itu, walaupun harus kuakui aku memang cukup keren. Ini sama sekali bukan waktunya untuk merasa bangga. Tamatlah sudah riwayatmu Jung Hoseok.

Park Jimin. Menyenangkan diriku tanpa merusak kesenangan orang lain. Apa itu mungkin? Ya, itu mungkin jika aku hanya hidup dengan diriku sendiri. Seperti sekarang. Sendirian. Tapi tidak ada yang menyenangkan sama sekali dari kesendirian ini. Yang ada hanyalah kesepian. Kenapa semua berakhir begini disaat aku baru memulai? Aku masih berusaha menolak kenyataan dengan duduk di tepi sungai Han, bersama dua kaleng soda, berharap dia akan datang. Meskipun logikaku tahu dia tidak akan pernah datang lagi.

Kim Taehyung. Aku kembali menjadi egois. Hanya perduli dengan apa yang aku rasakan saat ini. Dan aku tidak merasa bersalah, seperti saat aku jatuh cinta pada fotografi. Aku mulai enggan datang ke kafe. Latte art kini tidak menarik lagi. Bukan karena ekonomi keluargaku yang mulai membaik. Bukan pula karena aku menemukan ketertarikan pada hal lain. Aku tidak tahu bagaimana untuk menjelaskannya. Saat seseorang menempati ruang hatimu, dan kemudian orang tersebut pergi. Sebagian hatimu telah ikut pergi bersamanya. Dan semua terasa tidak menarik lagi sekarang. Aku terlalu fokus pada perasaanku, hingga aku mengabaikan perasaan orang lain. Aku tahu bukan hanya aku yang merasa kehilangan. Dua hati yang patah seharusnya bisa saling melengkapi, tapi kami justru saling mematahkan. Sekalipun aku tidak pernah membayangkan hari seperti ini akan datang. Hari dimana pertengkaran tidak lagi dapat dihindarkan.  

Jeon Jungkook. Pembohong. Itulah sebabnya aku tidak boleh percaya pada siapapun. Ini adalah kesalahanku sendiri. Aku terlalu terlena pada kebaikan yang kuterima. Seharusnya aku sadar diri. Siapa aku, dan siapa dia. Entah kenapa kamarku terasa lebih sempit saat ini. Mungkin karena aku yang telah tumbuh dewasa, atau karena keinginanku untuk pergi dari sini yang semakin membesar. Sayangnya aku tidak bisa pergi begitu saja hanya karena aku menginginkannya. Tapi aku pasti akan pergi, walau tanpa bantuannya. Walau aku tidak tahu kapan itu akan terjadi.

Post a Comment