Cypher Pt. 13, Pt. 14, Pt. 15 (FINALE)

Part 13. Kim Namjoon
Aku tidak ingat bagaimana aku sampai di sini.
Aku hanya membuka mata, dan tiba-tiba sudah berada di sini.
Awalnya aku bertanya-tanya, ada di mana aku sekarang?
Apa aku sudah mati saat ini?
Tempat ini terasa familiar.
Benar. Ini adalah sekolah.
Hanya saja, tidak ada seorang pun selain aku.
Sesaat aku mendengar suara langkah kaki.
Aku tidak yakin apa aku benar-benar sendirian.
Tidak ada lampu di sini.
Meski tidak sepenuhnya gelap, karena ada beberapa lilin yang menempel di dinding.
“Guru Lee, apakah itu kau?”
“Apa kabar Kim Namjoon? Jadi kau memutuskan untuk mengakhiri kesepakatan kita?”
“Apa sekarang ini aku sudah mati?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Kau tidak hidup dan juga tidak mati. Kau hanya berada di sini.”
“Apa aku akan selamanya di sini?”
“Tergantung apa yang dilakukan oleh sahabatmu.”
“Sahabatku?”
“Ya, sahabatmu. Para member yang kau miliki.”
“Apa mereka tahu apa yang terjadi padaku?”
“Tidak ada seorang pun yang mengingat tentang dirimu. Tapi bila mereka menyadari kepergianmu, aku akan memberimu sebuah penawaran baru.”
“Apa kau sedang memberiku harapan kosong? Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki memori tentangku, sadar bahwa aku menghilang.”
“Kita lihat saja apa yang akan terjadi padamu.”

Part 14. Park Jimin
Aku melihat wajah Kim Seokjin yang terkejut di depan pintu.
Seseorang sedang tersenyum lebar. Guru Lee Hyun.
“Selamat datang Kim Seokjin, Jung Hoseok, Kim Taehyung. Silahkan bergabung….”
Kami sudah tertangkap basah.
Dalam kondisi yang masih terkejut dengan surat perjanjian yang kami temukan, tiba-tiba Guru Lee masuk.
Dan sekarang member yang lain ikut bergabung di sini.
“Jadi, siapa yang ingin bercerita? Apa yang sedang kalian lakukan di sekolah malam-malam? Di ruanganku?”
“Guru Lee sendiri, apa yang Guru Lee lakukan malam-malam begini di sekolah?”, dengan spontan aku balik bertanya.
Inilah yang dilakukan orang yang bersalah, mencoba mencari kesalahan pihak lain.
“Aku? Ini ruanganku, aku bisa berada di sini kapan pun aku mau. Apa ada yang salah?”
“Apa Guru Lee yakin hanya karena itu? Bukan karena ada sesuatu yang ingin kau sembunyikan di sini?”
“Tentu saja ada banyak hal yang kusembunyikan. Bukankah wajar ingin melindungi apa yang kau miliki?”
“Apakah termasuk ini?”, aku mengarahkan tanganku yang sedang memegang surat perjanjian ke hadapannya dan lanjut bertanya, “Siapa Kim Namjoon? Dan apa yang terjadi padanya?”
“Aku akan mengajukan pertanyaan yang sama, kepada kalian berenam. Memangnya siapa Kim Namjoon? Kenapa kalian mencarinya?”
Tidak seorangpun dari kami menjawab pertanyaan Guru Lee.
Siapa Kim Namjoon? Itu yang sedang kami coba cari tahu.
Melihat kami yang hanya diam, Guru Lee berkata, “Kenapa kalian berusaha mencari seseorang yang bahkan tidak kalian ingat?”
“Aku hanya tahu dia seharusnya berada disini. Aku memang tidak dapat mengingatnya, tapi aku dapat merasakan bahwa dia seseorang yang penting bagiku.”
“Penting?”, Guru Lee menyeringai padaku. “Bila dia memang penting, kalian tidak akan membiarkannya menghilang.”
“Maksudmu kami penyebab menghilangnya Kim Namjoon?”
“Tidak secara langsung. Tapi bisa dikatakan seperti itu.”
 Aku sama sekali tidak menangkap inti dari percakapan panjang ini.
Lebih sulit memahami bahasanya, dari pada memahami bahasa Taehyung. Entah karena dia guru sastra, atau memang aku yang bodoh.
Tidak perduli seberapa keras aku menggali dalam ingatanku, tidak ada sedikitpun memori tentang Kim Namjoon.
“Baiklah, anggap saja memang kami penyebab dia menghilang, meski aku tidak tahu bagaimana itu terjadi. Apa kau tahu dimana dia berada sekarang?”
“Aku tidak punya alasan kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu.”
“Kami tidak akan meninggalkan ruangan ini sampai kami mendapatkan penjelasan darimu.”
“Aku hargai rasa ingin tahumu yang tinggi Park Jimin. Tapi apapun yang kau dengar dariku, tidak akan merubah kenyataan bahwa Kim Namjoon pergi.”
“Apa artinya dia sudah mati? Apa dia melanggar surat perjanjian ini dan berakhir kehilangan nyawanya? Kenapa dia membuat perjanjian seperti ini?”
“Dia tidak mati. Dia hanya pergi ke suatu tempat. Kau ingin tahu perjanjian apa ini? Dia telah menukar jiwanya untuk mendapatkan pengakuan orang-orang.”
“Pengakuan?”
“Iya, pengakuan. Dia ingin berhenti diabaikan.”
“Kenapa dia merasa diabaikan? Kami tidak mungkin mengabaikan bagian dari kami.”
“Kalian bilang tidak mengabaikannya? Lalu apa yang kalian lakukan saat dia mendapat perlakuan tidak adil dari orang-orang? Oh, aku hampir lupa. Kalian tidak mengingat apapun, termasuk kesalahan yang telah kalian lakukan. Kalian hanya diam saja saat orang lain mengabaikan Kim Namjoon. Mungkin bagi kalian tidak ada masalah selama kalian tidak ikut mengabaikan keberadaan Kim Namjoon, tapi bagi dia hal itu menyakitkan. Memang benar semua orang punya kebebasan dalam bertindak, dan kalian tidak bisa mengatur bagaimana orang harus bersikap pada Kim Namjoon. Tapi itu semua hanya alibi agar kalian tidak merasa bersalah. Kalian hanya egois. Kalian takut orang-orang akan ikut mengabaikan kalian juga bila kalian membela Kim Namjoon. Apa kau puas dengan penjelasanku Park Jimin?”
Guru Lee seolah menembakkan peluru bertubi-tubi tepat di jantungku, sebanyak tiap kata yang terucap dari bibirnya.
Apakah aku sungguh seburuk itu? Apa aku sungguh egois?
Apa setelah mendengar semua ini aku ingin tetap bertemu Kim Namjoon?
Iya, aku tetap ingin bertemu dengannya.
Mungkin jika bertemu dengannya, aku akan mengingat kembali semuanya.
Aku terlalu malu menyebut diriku sebagai seorang sahabat. Tapi aku akan minta maaf dan berusaha memperbaiki kesalahanku.
Aku harus menemui Kim Namjoon.
“Apa yang harus kami lakukan untuk membuat Kim Namjoon kembali?”
“Tidak ada.”
“Apakah sungguh tidak ada cara untuk membawanya kembali? Aku akan melakukannya apapun itu.”
“Saat ini, yang bisa menyelamatkan Kim Namjoon adalah dirinya sendiri. Sebaiknya sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing.”
Aku merasa tidak pantas hidup lagi.
Bagaimana mungkin aku bisa bernafas dan menjalani hidup seolah tidak terjadi apa-apa, sementara Kim Namjoon entah dimana dia berada sekarang, entah apa yang dia alami disana.
Aku harap bumi terbelah dan menelanku hidup-hidup.

Part 15. Kim Namjoon
Aku pikir aku sedang berada di sekolah, tapi aku salah.
Entah sudah berapa tangga yang kunaiki, bangunan ini seolah memiliki lantai tak terhingga.
Saat aku menengok ke bawah, aku tidak dapat menemuka lantai dasar.
Aku tidak ingat dari lantai berapa aku mulai, dan tidak tahu di lantai berapa aku sekarang.
Sekali lagi aku mendengar langkah kaki.
Tidak perlu lagi bertanya-tanya langkah kaki siapa itu.
Yang ingin aku tahu adalah, apa yang akan dia katakan kali ini.
“Apa kau menungguku Kim Namjoon? Tidakkah kau merasa kesepian?”
“Sejujurnya aku tidak sungguh-sungguh mengharapkan kedatanganmu Guru Lee. Tapi terimakasih telah berkunjung.”
“Aku kesini untuk memberimu sebuah penawaran.”
“Jadi memberku tahu aku menghilang?”
“Kenapa? Apa kau merasa senang? Aku cukup tersentuh dengan usaha yang dilakukan mereka, terutama Park Jimin.”
Seketika aku merasa bodoh.
Bagaimana mungkin aku bisa menjadi serakah, dan berakibat hingga seperti ini.
Kenapa aku hanya berfokus pada perlakuan orang terhadapku. Padahal ada member yang selalu ada untukku.
Aku memiliki Kim Seokjin, Jung Hoseok, Park Jimin, Jeon Jungkook, Min Yoongi, Kim Taehyung. Apa lagi yang kuperlukan?
“Apa yang akan Guru Lee tawarkan padaku.”
“Sebuah kebebasan. Kau bisa keluar dari sini, dan kembali menjalani kehidupanmu. Tapi ini semua tergantung dengan keputusan yang akan kau buat. Sama seperti sebelumnya, tidak ada hal yang kau dapat dengan percuma.”
“Apa lagi yang akan kau ambil dariku?”
“Aku tidak akan mengambil apapun dari dirimu. Ini sebuah pertukaran. Kau bisa keluar dari sini, dengan syarat Park Jimin yang akan menggantikan posisimu disini. Semua terserah padamu. Kau tetap memilih berada disini, atau bertukar posisi dengan Park Jimin? Silahkan pikirkan, aku akan memberimu waktu.”
“Tidak perlu memberiku waktu. Aku bisa memberi jawaban padamu saat ini juga.”
“Apa kau yakin tidak ingin memikirkannya baik-baik?”
“Ini bukan sesuatu yang perlu untuk dipikirkan. Aku akan memilih berada disini.”
“Kau yakin dengan pilihanmu?”
“Aku rasa aku mulai terbiasa ada disini. Sendirian, tanpa siapapun. Aku tidak perlu lagi perduli bagaimana orang memperlakukanku, aku tidak perlu khawatir orang-orang akan mengabaikanku. Sepertinya berada di sini jauh lebih baik dibanding aku kembali.”
“Baiklah bila memang itu yang kau inginkan. Sesuai yang aku katakan, semua tergantung pada keputusanmu. Dan aku akan memenuhi kata-kataku.”

************
Aku merasa seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku.
Perlahan aku membuka mata.
“Hyung…, bangunlah…..”
Apakah yang dihadapanku saat ini sungguh Park Jimin? Apa aku sedang bermimpi?
“Hyung…, ayo bangun!”
Jimin tetap memintaku bangun meski kedua mataku telah terbuka.
Mungkin karena aku tidak merespon apapun.
“Jimin-ah….”
“Kenapa kau menatapku seperti itu hyung? Cepat bangun. Bagaimana mungkin kau bisa tidur, sebentar lagi ujian dimulai.”
“Ujian?”
“Sebaiknya sekarang kau ke kamar mandi dan mencuci mukamu hyung, agar kau bisa sepenuhnya bangun.”
Jimin berjalan pergi ke bangkunya.
Aku menatap ke sekeliling ruangan.
Aku sedang berada di kelas, di bangkuku.
Semua anak duduk di bangku mereka masing-masing.
Jimin sedang bercanda dengan Jungkook yang duduk di depannya.
Tiba-tiba wakil kepala sekolah masuk ke dalam kelas.
“Selamat pagi anak-anak. Karena wali kelas kalian sedang cuti, Guru Lee Hyun akan menjadi wali kelas sementara bagi kalian, dan akan menjaga ujian pagi ini.”
Tunggu dulu, apa yang sedang terjadi sekarang?
Guru Lee? Ujian? Tanggal berapa saat ini?
Apa selama ini yang terjadi padaku hanya mimpi belaka?
Apa aku sedang mengalami déjà vu?

-END-

Gatau sih ini penting apa endak buat dijelaskan. Cuma klarifikasi aja, Namjoon bisa kembali lagi karena dia udah buat keputusan yang tepat. Intinya terletak pada keputusan, bukan pilhan yang ditawarkan. Sekian… :D

Cypher Pt. 10, Pt. 11, Pt. 12

Part 10. Jung Hoseok
Jadi seperti ini rasanya menjadi ‘pencuri’.
Jantungku berdetak sangat kencang.
Hanya mendekatkan pengeras suara ke dadaku, seantero sekolah akan bisa mendengarkan detak jantungku dengan telinga telanjang.
“Taehyung-ah… Aku rasa aku bisa terkena serangan jantung sewaktu-waktu.”
“Hyung, bukankah ini keren? Menyelinap ke sekolah malam-malam. Kita seperti agen rahasia yang sedang melaksanakan misi. Selama ini aku hanya melihatnya di dalam film.”
Sepertinya aku curhat pada orang yang salah.
“Hey, kalian berdua berhentilah mengobrol. Kita tidak sedang bermain disini.”, Seokjin mengomel padaku dan Taehyung.
Aku juga tahu kami datang kesini bukan untuk bermain.
Siapa yang kurang kerjaan bermain di antara tumpukan berkas, dalam ruangan gelap, dan berdebu.
Mungkin aku tidak hanya bisa terkena serangan jantung, tapi juga berisiko gangguan penglihatan dan pernafasan.
Aku harap kami tidak menghabiskan sepanjang malam di sini.

Part 11. Jeon Jungkook
Aku, Park Jimin, dan Min Yoongi, saling melempar pandang.
Kami terlihat seperti orang bodoh.
Kami hanya tahu harus datang ke ruangan ini. Tapi tidak tahu apa yang harus kami cari.
Kami memeriksa seluruh bagian ruangan.
Membuka setiap buku yang tersusun di rak, memeriksa vas bunga, memeriksa lukisan, tidak ada satu sudut pun yang kami lewatkan.
Aku hendak membuka laci yang ada di meja. Tapi laci itu terkunci.
Aku memanggil Min Yoongi untuk membukakannya. Kenapa? Karena dia juga yang tadi membuka pintu ruangan ini.
Dia mengotak-atik lubang kunci, namun kemudian berhenti.
“Kenapa hyung?”
“Tiba-tiba aku teringat Hoseok, Seokjin hyung, dan Taehyung. Apa mereka sudah berhasil masuk ke ruang dokumen?”
“Tenang saja hyung… Kim Taehyung pasti punya banyak referensi dari berbagai macam film yang dia tonton selama ini.”
“Aku harap mereka baik-baik saja.”
Min Yoongi melanjutkan untuk membuka laci. Dan laci pun terbuka.
Ada sebuah kertas berjudul ‘Surat Perjanjian’.
Nama Kim Namjoon tertera di sana.
“Apa ini?”, aku berkata lebih kepada diriku sendiri.
Benarkah apa yang sedang kubaca?
Yang tertulis disana sungguh mengerikan.
Apa maksudnya membayar dengan jiwa?

Part 12. Kim Seokjin
Akhirnya kami menemukan apa yang kami cari.
Aku tersenyum, bangga dengan apa yang kulakukan.
Apa aku baru saja berkata ‘bangga’?
Sepertinya untuk beberapa menit yang lalu aku memang merasa begitu.
Sekarang aku merasa sedikit takut.
Jadi Kim Namjoon sungguh nyata?
Tubuhku merinding melihat berkas-berkas yang berada dalam tanganku.
Bersama Hoseok dan Taehyung, aku pergi menemui yang lain.
Ruangan Guru Lee berada di lorong yang berbeda.
Sesaat aku berpikir, kenapa seorang guru sastra memiliki sebuah ruangan spesial.
Kenapa dia punya ruangannya sendiri, di saat guru yang lain berada pada satu ruangan besar?
Saat hampir sampai di ruangan tersebut, aku melihat sedikit cahaya dari bawah pintu.
Apa mereka mencari sesuatu dalam keadaan lampu menyala?

Cypher Pt.8, Pt.9

Part 8. Park Jimin
Perasaan apa ini? Aku merasa ada sesuatu yang hilang. Tapi apa?
Ini bukan pertama kalinya perhatianku tertuju pada bangku tersebut.
Apa sejak awal bangku itu memang kosong?
Tapi kenapa kosong?
Maksudku, wajar bila ada bangku kosong di bagian belakang, tapi ini di tengah-tengah kelas.
Kenapa seseorang tidak duduk saja di sana? Kenapa bangku itu tidak dikeluarkan saja dari kelas?
Ada begitu banyak ‘kenapa?’ memenuhi pikiranku.
Aku bisa mati penasaran bila terus seperti ini.
“Jungkook-ah, apa menurutmu bangku itu memang kosong sejak awal?”
“Maksudmu bangku di tengah itu? Aku rasa begitu.”
“Apa kau yakin? Mungkinkah ada teman sekelas kita yang pindah ke sekolah lain? Tapi kenapa aku tidak ingat apapun?”
Aku hanya bisa mendesah.
Bertanya pada Jungkook sama sekali tidak membantu. Dia hanya asik mengutak-atik kameranya.
Ah! Kamera. Kenapa baru sekarang aku memikirkannya?
“Jungkook-ah, boleh aku pinjam kameramu?”
“Untuk apa?”
“Untuk memastikan apakah bangku itu memang kosong atau tidak.”
“Kenapa kau sangat terobsesi pada bangku itu? Dari pada melihat kameraku, kenapa tidak kau periksa saja bangkunya?”
“Kau benar, aku akan memeriksa bangkunya. Tapi setelah aku melihat kameramu.”
Aku membuka galeri kamera Jungkook.
Diantara banyak foto yang Jungkook ambil, pasti dia juga mengambil foto di kelas ini.
“Ketemu!”, aku berseru pada diriku sendiri.
Ada seseorang yang duduk di bangku itu.
Meski foto itu hanya menampakkan bagian punggungnya, tapi aku yakin dia adalah pemilik bangku.
“Yaa, Jeon Jungkook, lihat ini! Ada yang duduk di bangku itu. Apa kau ingat sesuatu?”
Dia menggeleng, dengan ekspresi tidak yakin kalau dia yang mengambil foto itu.
Aku masih menelusuri galeri.
Ada foto loker sepatu, foto sarang laba-laba, foto daun kering.
Kenapa Jungkook mengambil foto hal-hal aneh. Aku hanya berkomentar dalam hati.
Kemudian aku menemukan foto di ruang latihan.
Dalam foto itu ada aku, Min Yoongi, Kim Seokjin, dan satu orang lagi yang tidak kukenal.
“Siapa dia?”
“Aku tidak ingat mengambil foto ini. Apa dia salah satu penggemar yang berkunjung ke ruang latihan?”
Sepertinya Jungkook mulai terganggu karena tidak mengenali foto-foto yang dia ambil.
Dia mengambil kameranya dariku dan memperbesar gambarnya.
“Kim Nam joon.”, Jungkook mengeja sesuatu.
“Hah?”
“Pada nametag-nya tertulis ‘Kim Namjoon’, itu namanya. Tapi aku masih tidak mengingat apapun.”
Aku menarik tangan Jungkook, mengajaknya menghampiri bangku itu.
Ada banyak sekali coretan di sana.
Siapapun pemilik bangku ini, tulisan tangannya sangat jelek.
Aku tidak yakin bisa membacanya. Tapi akan tetap kucoba.
Dari sekian banyak tulisan, yang menarik perhatianku adalah:
Namaku Kim Namjoon
Posisi Leader
Memberku Kim Seokjin, Min Yoongi, Jung Hoseok, Park Jimin, Kim Taehyung, Jeon Jungkook
Ruangan Guru Lee Hyun
“Jungkook-ah, cepat kau foto ini. Kita harus menunjukkannya pada yang lain.”
Kini pertanyaan di kepalaku berkembang semakin kompleks.
Jadi pemilik bangku ini bernama Kim Namjoon? Dan dia adalah leader kami, makanya ada fotoku bersamanya di ruang latihan?
Tapi kenapa dia tidak di sini lagi? Kenapa baik aku ataupun Jungkook tidak mengingat apapun?
Apa rasa kehilangan yang terus menggangguku ini ada hubungannya dengannya?

Part 9. Min Yoongi
Omong kosong apa yang sedang dikatakan Park Jimin saat ini.
Logikaku mencoba menolak semua yang kudengar.
Tapi foto itu, coretan di bangku itu, aku bisa melihat ini nyata.
Apa seseorang sedang mempermainkan kami?
Sial!
“Jimin-ah, bukankah Guru Lee Hyun adalah guru pelajaran sastra?”
“Iya hyung.”
“Aku rasa dia tahu sesuatu tentang ini. Dia tahu tentang Kim Namjoon.”
“Jadi kita akan bertanya pada Guru Lee?”
“Menurutmu seseorang akan membuat pengakuan hanya dengan kau tanya begitu saja?”
Terkadang sikap Jimin yang terlalu polos ini membuat kepalaku sakit.
“Lalu apa yang akan kita lakukan hyung?”
“Kita akan berbagi tugas. Aku, Jimin, dan Jungkook, akan memeriksa ruangan Guru Lee, sesuai coretan yang ada di bangku. Pasti ada petunjuk di ruangan itu. Sedangkan Seokjin hyung, Hoseok, dan Taehyung, akan memeriksa ruang dokumen. Kalau Kim Namjoon memang seorang siswa di sini, pasti ada berkas-berkas seperti data diri dan sebagainya.”
Sejujurnya aku tidak tahu dengan apa yang baru saja aku katakan.
Apa yang akan kami lakukan ini bisa dianggap tindakan kriminal.
Bila kami ceroboh melakukannya, kami bisa berakhir Drop Out.
Aku bisa saja mengabaikan semua ini, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, dan menjalani hari-hari seperti biasa.
Tapi jauh dalam hatiku, aku juga ingin tahu, siapa Kim Namjoon.

Cypher Pt.5, Pt.6, Pt.7

Part 5. Kim Namjoon
Rambut hitam dengan coma style yang mengekspose dahinya. Mata berbinar dan gigi kelinci yang tidak cocok dengan tampilan maskulinnya.
Semua itu tidak asing bagiku. Tapi aku tidak ingat namanya.
“Jeon Jungkook.”, aku membaca nametag yang terpasang di seragamnya.
Ada apa denganku? Kenapa rasanya aku melupakan banyak hal?
Kuputuskan untuk menemui Guru Lee.
Dia menyambutku dengan senyum dari balik mejanya.
“Apa kau bersenang-senang dengan apa yang kau dapat? Aku rasa iya.”
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu?”
“Silahkan…”
“Apa kalung yang kugunakan ini berefeksamping pada pikiranku? Aku mulai lupa akan banyak hal.”
“Itulah harga yang harus kau bayar.”
“Maksud Guru Lee?”
“Seperti yang kukatakan sebelumnya, kalung itu akan mengambil hal berharga darimu. Dan sepertinya dia memutuskan mengambil memorimu. Kau akan mulai kehilangan apa yang kau ingat, sebanyak orang-orang mengingatmu.”
“Tapi bukan ini yang kuinginkan.”
“Bukankah kau ingin agar orang-orang mengakui keberadaanmu? Dengan mengingatmu, mereka mengakui dirimu ada.”
“Bagaimana bila aku ingin agar memoriku kembali? Apa aku akan kembali menjadi ‘bukan siapa-siapa’?”
“Apa kau lupa Kim Namjoon? Sekali kau memulai, tidak ada jalan kembali.”
“Apa yang terjadi bila aku menghancurkan kalung ini?”
“Sesuai dengan apa yang telah kita sepakati. Pelanggaran yang kau lakukan, akan kau bayar dengan jiwamu.”
“Artinya aku akan mati?”
“Kau akan menghilang, tanpa seorang pun yang mengingatmu.”

Part 6. Kim Taehyung
“Taehyung-ah, kenapa kau melibatkanku dalam hal ini?”
“Apa kau tidak merasa dia bertingkah aneh? Apa kau tidak ingin tahu apa yang terjadi padanya?”
“Kenapa kau tidak mengajak yang lain juga?”
“Akan terlalu ramai untuk membuntuti seseorang.”
“Tapi kenapa harus aku?”
“Hyung, kenapa kau cerewet sekali hari ini? Sudah kita ikuti saja Kim Namjoon.”
Aku memutuskan untuk membuntuti Kim Namjoon sepulang sekolah, dan mengajak Min Yoongi ikut bersamaku.
Aku mencemaskan Kim Namjoon, tapi aku tidak ingin pergi sendirian, jadi aku mengajak Min Yoongi yang saat itu berada di dekatku. Dari pada sekedar mengajak, lebih tepatnya aku memaksanya untuk ikut.
Ini bukan jalan ke rumah Kim Namjoon. Apa dia ingin pergi ke suatu tempat?
Aku dan Min Yoongi tetap mengikutinya.
Tapi kemudian aku sadar, kami hanya berputar-putar di tempat yang sama.
Tunggu? Apa Kim Namjoon lupa di mana dia tinggal?

Part 7. Kim Namjoon
Kubuka kedua mataku. Berpikir apa yang harus kulakukan.
Ah! Aku harus bersiap ke sekolah.
Kutatap diriku yang sudah berdandan rapi di cermin.
Kemudian aku bertanya pada diriku sendiri, ”Siapa aku?”
Aku melirik nametag yang kukenakan.
Namaku adalah Kim Namjoon. Aku tidak boleh lupa.
Aku mulai berjalan keluar rumah.
Berjalan….dan terus berjalan….
Aku hanya tahu aku harus pergi ke sekolah.
Tapi sekarang aku bahkan tidak tahu lagi aku ada di mana.
Kuambil ponsel dari dalam tasku.
Menghubungi satu-satunya nama yang masih kuingat.
“Halo, Guru Lee?”
“Kenapa kau menelponku?”
“Kau tahu Guru Lee? Aku tidak tahu lagi bagaimana cara sampai ke sekolah. Aku tidak lagi mengingat siapa namaku, siapa aku. Apa artinya orang lain mengenalku, tapi aku sendiri tidak. Aku pikir semua ini sudah cukup. Hidup seperti ini tidak lebih baik dari sebuah kematian.”
Tanpa menunggu respon dari Guru Lee, kumatikan ponselku. Kemudian mulai menertawakan semua yang terjadi.
Aku menggenggam liontin kalung yang kupakai. Kupejamkan mata, menariknya dengan kuat, dan melemparkannya ke jalanan.

Cypher Pt.2, Pt.3, Pt.4

Part 2. Jung Hoseok
Hampir satu jam aku dan yang lain menunggu Namjoon.
Dia tidak pernah terlambat datang latihan.
Kami pun memutuskan memulai latihan tanpa Namjoon.
10 menit kemudian, Namjoon memasuki ruang latihan dengan nafas terengah-tengah.
Sepertinya dia kesini dengan berlari.
“Maaf, aku terlambat. Oh Soo memintaku membantunya menyelesaikan soal matematika. Dan aku tidak bisa menolaknya.”
Oh Soo? Si ranking 2 di kelas.
Bukankah dia menganggap Namjoon sebagai saingannya?
Ah, sudahlah. Apa yang kucemaskan? Baguslah kalau mereka bisa berteman sekarang.
Karena sekarang Namjoon sudah datang, kami memulai kembali latihan.
Namjoon terlihat bersemangat. Aku juga bisa merasakannya.
Sepertinya suasana hatinya sedang bagus.
Mungkin karena akhir-akhir ini dia bergaul cukup baik dengan orang-orang.
Aku tahu hal baik akan terjadi pada akhirnya.

Part 3. Kim Seokjin
Aku akan makan banyak hari ini.
Siapa yang perduli dengan berat badan? Aku hanya perlu berdiet nanti.
Ini karena Yoongi membuatku kesal.
Iri? Dia menyebutku iri pada Namjoon.
Aku tidak pernah iri pada siapa pun. Apalagi hanya karena sebatang cokelat.
Aku hanya merasa ada yang aneh.
Namjoon bergaul dengan banyak orang, tidak ada lagi surat ancaman, dan bahkan seseorang meletakkan cokelat dalam lokernya.
Tentu saja ini sesuatu yang bagus. Akhirnya seorang Kim Namjoon memiliki penggemar.
Tapi semua perubahan drastis ini terjadi hanya dalam beberapa hari.
Apa memang hanya aku saja yang berlebihan dan berpikir seperti ini?

Part 4. Kim Taehyung
“Hyung…..”, aku menghampiri Kim Namjoon di bangkunya. “Apa kau sudah menyiapkan sesuatu untuk Jimin?”
“Menyiapkan sesuatu untuk apa?”
“Ulang tahun Jimin minggu depan.”
“Jimin berulang tahun minggu depan? Aku belum menyiapkan apapun.”
“Bagaimana kau bisa lupa. Kita sudah sepakat akan membuat kejutan di rumahnya.”
“Rumah Jimin? Di mana?”
“Hyung… Apa kau sedang menguji kesabaranku?”
“Aah, iya iya… Rumah Jimin. Tentu aku ingat.”
Ada apa dengan Kim Namjoon? Kenapa aku merasa dia tidak sedang bercanda?
Tapi bagaimana mungkin dia lupa dengan ulang tahun Jimin? Dia bahkan bertanya di mana Jimin tinggal.
Dia memang ceroboh dan pelupa.
Dan akhir-akhir ini sifat lupanya makin parah. Tapi tidak kusangka akan separah ini.
Hal ini membuatku cemas.

Cypher Pt.1



Cypher

Ketika keserakahan menelanmu…
Kau menginginkan lebih…
Tapi yang kau dapatkan adalah kehilangan segalanya…
Kehilangan dirimu sendiri.

Part 1. Kim Namjoon
Leader?
Aku rasa itu tidak lebih dari sekedar label belaka.
Tentu saja para member mendengarkanku dengan sangat baik.
Tapi cara orang lain memperlakukanku, terkadang aku tidak tahan lagi.
Bagaimana mungkin mereka memperlakukan member lain dengan manis, namun mengacuhkanku.
Ketika di luar panggung, aku bukanlah siapa-siapa.
Aku tidak berharap para siswa akan menggilaiku seperti seorang idol, karena kami memang hanya sebuah grup band sekolah biasa.
Tapi kenyataan bahwa aku diabaikan sangat menggangguku.
Aku memandang sebuah kalung berliontin hitam yang tergantung di leherku.
Sekilas tidak ada yang spesial. Tapi kalung ini akan membawa perubahan dalam hidupku.
Semua bermula ketika seseorang memasuki kelas pagi itu.
Dia adalah Guru Lee Hyun.
Dia akan menjadi wali kelas sementara, selama wali kelasku cuti melahirkan.
Hari itu kelas sedang ada ujian. Tiba-tiba sebuah kertas kecil mendarat di mejaku.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari tahu arah datangnya kertas.
Tanpa sadar Guru Lee sudah berdiri di depanku.
“Kim Namjoon, apa kau sedang mencoba untuk berbuat curang?”
“Tapi aku tidak melakukan apapun. Kertas ini bukan milikku.”
“Lalu milik siapa?”
Aku tidak memberikan jawaban. Karena aku memang tidak tahu kertas siapa ini.
“Temui aku di ruanganku saat istirahat nanti.”
Tidak ada yang bisa kulakukan untuk membela diri.
Meminta bantuan memberku? Mungkin mereka juga tidak melihat siapa yang melempar kertas.
Aku pun pergi menemui Guru Lee di ruangannya.
Alih-alih menyuruhku duduk di depan mejanya, dia mengajakku duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan.
“Kau ingin secangkir teh?"
Aku menggelengkan kepala, kemudian berkata terimakasih.
Bukankah dia memintaku kesini untuk memberiku hukuman? Kenapa dia justru menawariku untuk minum?
“Aku tahu kau tidak bersalah.”
Apa aku tidak salah dengar? Kalau begitu kenapa dia tetap memintaku kesini?
“Tapi bukti yang ada memang menunjukkan yang sebaliknya. Apa kau tidak lelah diperlakukan seperti ini? Diabaikan, diacuhkan, bahkan dikambinghitamkan.”
Hari ini adalah pertemuan pertama kami. Tapi dia mengatakan semua itu seolah dia tahu segalanya.
“Aku akan memberikanmu sebuah penawaran.”
“Penawaran?”
Guru Lee menyodorkan sebuah kertas.
“Ini adalah sebuah kontrak. Aku akan membantumu membuat orang-orang mengakui dan menghargai keberadaanmu. Dengan syarat, tidak ada seorangpun yang boleh tahu tentang perjanjian ini. Pelanggaran yang kau buat, akan kau bayar dengan jiwamu. Kalau kau setuju dengan penawaranku, kau bisa tuliskan namamu pada kontrak ini.”
Rasanya otakku hanya merespon pada kata-kata yang ingin kudengar saja. ‘Membuat orang-orang mengakui keberadaanku’, kalimat itu terdengar menggiurkan.
“Bagaimana caranya Guru Lee membantuku?”
Guru Lee berjalan ke mejanya, dan mengambil sesuatu dari laci. Dia memberikan sebuah kalung berliontin hitam padaku.
 “Dengan ini, kau akan mendapatkan apa yang kau mau. Tapi yang perlu kau tahu, akan ada yang dikorbankan sebagai imbalan dari apa yang kau dapat.”
“Apa itu?”
“Aku juga tidak tahu. Kalung ini yang akan memutuskan, hal berharga apa yang bisa dia ambil darimu. Kau akan tahu setelah memakainya.”
Aku berpikir tentang hal berharga apa yang kumiliki. Dan tidak menemukan satu pun. Aku rasa bukan masalah besar apapun yang akan diambil dariku.
Kuraih bolpoin yang sudah disiapkan oleh Guru Lee. Aku siap untuk menuliskan namaku di atas kontrak.
“Sekali kau memulainya, kau tidak akan bisa mundur lagi.”
Dalam hitungan detik, namaku tertera jelas dengan tinta berwarna merah dalam kontrak tersebut. 
Dan kalung itu, kini telah bertengger di leherku.

"When I See You Again" (cont'd...)

Part 4
Taehyung tidak pernah muncul lagi di ruang galeri. Dia tidak lagi datang ke sekolah.
Wali kelas menyampaikan bahwa Taehyung telah pindah sekolah, tanpa menyebutkan kemana dia pindah.
Mendengar hal itu, Jimin langsung mendatangi rumah Taehyung sepulang sekolah. Tapi yang dia temukan hanyalah sebuah bangunan kosong.
Jimin berharap dapat memutar kembali waktu. Dia akan mencoba memahami perasaan Taehyung pada hari itu. Dia tidak akan diam saja membiarkan Taehyung pergi meninggalkan ruangan, yang tanpa dia sangka akan berarti pergi tanpa pernah kembali.
Hari-hari berjalan dengan sangat cepat. Dan tanpa terasa 7 pun tahun sudah berlalu.
Taehyung sedang berada di sebuah taman untuk pemotretan koleksi musim gugur salah satu brand ternama.
Saat sedang break, dia melihat seseorang yang tampak tidak asing.
“Jeon Jungkook…”, Taehyung berkata pada dirinya sendiri.
Dari jauh Jungkook tersenyum setelah tahu Taehyung menyadari keberadaannya.
Taehyung berjalan menghampiri Jungkook.
“Hai, hyung…..”, sapa Jungkook diiringi senyum kelincinya.
“Hai Jungkook-ah. Apa yang kau lakukan disini?”
“Menemuimu.”
Belum sempat menanggapi kunjungan mendadak dari Jungkook, seorang staff berteriak, “Taehyung-ssi, ayo kita mulai lagi….”
“Baik, sebentar…”, jawab Taehyung.
Dia kemudian berkata pada Jungkook, “Sebentar lagi aku selesai, tunggu aku di café seberang. Aku akan menemuimu disana.”
Usai sesi pemotretan, Taehyung menepati janjinya untuk  menemui Jungkook.
“Kkook-ah, kenapa kau tidak masuk dan menunggu di dalam café?”
“Aku ingin makan burger saja… heheheee.”
Mereka berdua akhirnya pergi ke restoran cepat saji, membeli dua buah burger, dua gelas cola, dan seporsi kentang goreng.
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?”, Taehyung membuka percakapan setelah meneguk cola-nya.
“Kalau kau ingin terus sembunyi, seharusnya kau bersembunyi dengan benar, bukannya malah menghiasi sampul-sampul majalah hyung.”
“Aku tidak berniat sembunyi dari siapapun.”
“Lantas yang kau lakukan 7 tahun lalu?”
“Butuh waktu bagiku untuk menyadari bahwa yang kulakukan saat itu adalah sebuah kebodohan.”
“Apakah 7 tahun masih tidak cukup untuk membuatmu sadar?”
“Bukan seperti itu.”
“Lalu kenapa kau tidak pernah kembali lagi menemui kami?”
“Karena mungkin kalian sudah terbiasa hidup dengan baik tanpaku. Dan juga….. aku tidak punya keberanian untuk kembali, setelah membiarkan keegoisan menguasaiku waktu itu.”
“Hyung…, apa kau ingin pergi ke sekolah setelah ini?”
Jungkook mengajak Taehyung ke SMA mereka dulu. Memasuki gerbang sekolah, Jungkook mengingat kembali hari pertama kali dia mengenal Taehyung. Mereka sedang dihukum bersama oleh guru olah raga karena datang terlambat, dan menjadi partner membersihkan lapangan basket selama seminggu.
Mereka kemudian memasuki gedung sekolah. Kelas-kelas yang biasa mereka tempati. Tangga yang biasa mereka lewati. Lorong dimana mereka berlarian. Toilet yang mereka gunakan untuk mengerjai Hoseok saat berulang tahun.
Semua memori itu kembali diputar ulang. Tidak hanya Jungkook. Taehyung juga bisa mengingat dengan jelas semua itu.
Tempat terakhir yang mereka datangi adalah ruang galeri. Tempat mereka menghabiskan banyak waktu bersama dan berbagi segala hal.
Tempat itu masih sama berantakannya seperti waktu dulu. Pengap dan penuh debu. Meski tidak begitu yakin, namun sepertinya tidak ada yang menggunakan ruangan ini selain mereka.
Taehyung duduk di sebuah bangku yang biasa dia gunakan dulu. Jungkook menarik sebuah kursi dan meletakkannya di sebelah Taehyung.
Dari jendela terlihat bahwa hari mulai senja.
“Hyung…..”, panggil Jungkook.
“Hmm…”, Taehyung yang masih asik mengenang masa lalu, menoleh ke Jungkook.
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan.”
“Katakan saja.”
“Ini tentang yang terjadi antara kau dan Seokjin hyung. Tentang surat dari Cho Ahra.”
Jungkook menatap mata Taehyung dan melanjutkan, “Surat itu bukan untuk Seokjin hyung, tapi untukmu.”
Jungkook merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah amplop berwarna ungu muda, dan manyerahkannya pada Taehyung.
“Aku menemukannya di tangga sebelum kita berkumpul di galeri untuk membahas rencana akhir pekan. Karena penasaran, aku membaca isinya. Ternyata itu sebuah surat cinta yang ditujukan padamu. Aku memutuskan untuk menyimpannya. Aku hanya tidak ingin orang lain masuk diantara kita bertujuh. Aku takut semua akan berubah kalau kau tahu Cho Ahra juga menyukaimu. Saat kau marah pada Seokjin hyung, aku baru tahu kalau surat itu awalnya dititipkan padanya. Cho Ahra mungkin menitipkan surat itu karena Seokjin hyung dekat denganmu dan malu bila memberikannya langsung. Surat itu mungkin terjatuh saat Seokjin membawanya. Saat Seokjin hyung bilang maaf pada hari itu, dia ingin minta maaf bahwa ia menghilangkan suratnya, sehingga tidak dapat memberikannya padamu.”
Taehyung membuka surat dari Ahra dan membacanya.
“Maafkan aku hyung…”, Jungkook berkata dengan nada penuh penyesalan.
Mendengar pengakuan Jungkook, Taehyung hanya tersenyum.
“Jungkook-ah, mari kita lupakan saja apa yang sudah terjadi. Semua itu sudah menjadi masa lalu sekarang.”
“Apa kau tidak marah padaku?”
“Aku sendiri melakukan kesalahan besar dengan menutup telingaku dari semua penjelasan.”
“Seharusnya aku mengatakan yang sebenarnya sejak awal.”
“Apa menurutmu itu akan menghasilkan keadaan yang lebih baik? Aku tidak tahu akan bersikap bagaimana bila tahu yang sebenarnya dari awal. Mengingat diriku yang tidak dapat mengendalikan emosi, aku mungkin akan tetap melakukan hal bodoh.”
“Sebenarnya tujuanku menemuimu bukan hanya untuk memberikan surat ini saja hyung.”
“Lalu?”
“Aku ingin memberitahumu bahwa Seokjin hyung telah meninggal.”
“S-Seokjin hyung meninggal?”, ucap Taehyung dengan terbata.
Perasaan Taehyung campur aduk mendengar kabar tersebut.  
“Besok akan dilakukan penghornatan terakhir sebelum dimakamkan. Apa hyung akan datang?”. Jungkook memberikan sebuah kertas kecil bertuliskan sebuah alamat.
Taehyung mengambilnya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang telah dia dengar. Terkejut, sedih, bersalah. Semua menjadi satu. Tapi tidak ada ekspresi apapun di wajahnya.
“Hyung, hari mulai malam, ayo kita pulang.”
“Aku rasa aku akan berada di sini dulu.”
“Aku mengerti. Hari ini pasti hari yang berat bagimu. Maaf aku tidak bisa bersamamu lebih lama. Aku harus pergi sekarang. Sampai bertemu di sana besok hyung..”
Part 5
Taehyung sudah rapi dengan setelan jas hitam. Namun wajahnya tidak serapi pakaian yang dia kenakan. Kusut. Ia berangkat ke alamat yang diberikan Jungkook kemarin.
Dengan perasaan yang masih campur aduk, Taehyung berjalan di koridor menuju ke aula. Mendadak dia berhenti, dan menggosok-gosok kedua matanya. Seokjin terlihat berjalan dari arah berlawanan.
Seseorang menepuk pundaknya dari belakang, “Kim Taehyung…”
Taehyung menoleh. Ternyata itu Namjoon. Ada Hoseok, Yoongi, dan Jimin juga di belakangnya.
“Namjoon hyung, apa kau juga melihat Seokjin hyung di sana?”
“Tentu saja aku melihatnya.”
“Aku pikir ada yang salah dengan mataku. Jadi kau bisa melihatnya juga?”
Seokjin berdiri di depan Taehyung, dan menyapa, “Apa kabar Taehyung-ah?”
Taehyung memandang Seokjin dengan melebarkan matanya yang memang sudah besar. Maju satu langkah, dan menyentuh pipi Seokjin.
Seokjin mengernyitkan alis mendapat respon seperti ini dari Taehyung.
Namjoon, Yoongi, Hoseok, dan Jimin, menatap Taehyung dengan aneh.
“Apa kau sungguh Seokjin hyung?”, tanya Taehyung.
“Apa aku terlihat seperti orang lain?, jawab Seokjin bingung.
“Apa artinya sekarang aku sedang berbicara dengan arwahmu hyung?”
“Arwah? Maksudmu aku sudah mati?”
“Bukankah hari ini pemakamanmu? Itu yang disampaikan Jungkook padaku kemarin.”
“Jungkook? Kemarin?”, Hoseok mengulang kata-kata Taehyung.
Namjoon mendekati Taehyung dan berkata, “Taehyung-ah, ini pemakaman Jungkook, bukan Seokjin hyung.”
“Aku sungguh bertemu dengannya kemarin. Kami bahkan makan burger bersama dan pergi ke sekolah.”
“Mungkin saat ini kau hanya terkejut dan sedang melakukan penolakan pada kenyataan yang ada.”, jelas Namjoon.
Taehyung bergegas ke dalam aula. Dan menemukan wajah Jungkook yang terpampang jelas di sana. Wajahnya yang dihiasi senyum manis. Matanya yang bersinar. Dikelilingi oleh lilin dan bunga-bunga.
Dia tidak tahu kejutan macam apa lagi ini. Kini dia hanya berlutut dan menangis di hadapan foto Jungkook.
Jimin mendekat dan memeluk Taehyung. Kerinduan pada sahabatnya yang kini kembali setelah lama pergi. Di sisi lain salah satu sahabatnya justru pergi untuk selamanya. Air mata jimin pun ikut tumpah.
“Jimin-ah, katakan padaku bahwa semua ini tidak benar. Katakan padaku kalau kalian hanya bekerjasama dengan Jungkook untuk mengerjaiku. Katakan pada Jungkook untuk berhenti pura-pura tidur. Apa kalian sedang menghukumku sekarang? Aku sadar aku salah. Aku tidak akan pergi lagi. Aku janji. Katakan pada Jungkook untuk bangun.”, Taehyung berkata sambil tak sanggup menahan isak tangisnya.
“Taehyung-ah, Jungkook sudah tiada. Maafkan aku…., tapi ini semua bukan kebohongan. Ia benar-benar sudah pergi untuk selamanya.”
“Tapi kenapa dia pergi meski aku telah kembali?”
“Sejak kepergianmu waktu itu, Jungkook berubah. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa tidak pantas menjadi orang baik, dan mulai bergaul dengan gangster. Tiga hari lalu sekumpulan orang menyerang dan menikamnya hingga dia koma kemudian meninggal.”
Mendengar penjelasan Jimin, tangisan Taehyung semakin menjadi.
Seokjin, Yoongi, Namjoon, dan Hoseok yang awalnya hanya memandang sambil menahan air mata, kini ikut memeluk Taehyung. Mereka berenam berpelukan dan berbagi tangis bersama.

-END-


"When I See You Again" (Short Story ft. Tae-Kook/Full Member)


When I See You Again

Part 1
Pukul 10 pagi. Seluruh siswa tengah mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Pengecualian untuk 7 anak laki-laki berikut ini. Taehyung, Jungkook, Yoongi, Namjoon, Jimin, Jin, dan Hoseok. Mereka malah asik bergurau di sebuah ruangan tak terpakai yang berada di dekat lapangan sekolah. Ruangan itu dulunya adalah sebuah galeri, tapi sudah lama tidak difungsikan, entah karena alasan apa.
“Seokjin-ah, bisa tolong tutup tirainya?”
“Hey Min Yoongi! beraninya kau menyuruhku, bahkan tanpa memanggilku hyung.”
“Kapan aku menyuruhmu? Dengan jelas aku bilang ‘tolong’, mungkin kau harus periksa telingamu. Dan kenapa kau selalu memaksaku memanggilmu hyung, padahal kau hanya lahir 3 bulan lebih dulu.”
Seokjin sedang tidak ingin berdebat. Dengan enggan dia menarik tirai dan berkata, “Selamat tidur tuan pemalas…”
Hoseok, Jimin, dan Jungkook sedang melakukan permainan tidak jelas. Sesekali mereka terlihat melakukan batu-gunting-kertas, saling memukul, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Melihat kelakuan mereka, Taehyung berkomentar, “Dasar, anak-anak….”
Namjoon yang sedari tadi mendengarkan lagu dari ponselnya menyahut, “Bukankah kau biasanya bagian dari mereka? Kenapa akhir-akhir ini kau kelihatan bersikap lebih tenang?”
“Mungkin dia sedang berusaha menjaga imej-nya.”, jawab Seokjin.
“Seorang Kim Taehyung, menjaga imej? Demi apa? Semua orang tahu dia hiperaktif. Hahahaa.”, Namjoon segera menghentikan tawanya saat Taehyung memberi tatapan tajam.
“Namjoon-ah, seseorang bisa berubah saat dia jatuh cinta. Benar kan Taehyung?”
“Uuuuw, jadi Taehyung kita sedang jatuh cinta. Dengan siapa?”
“Kau tahu Cho Ahra? Dia berada satu kelas denganku.”
“Hyung, berhenti menggodaku.”, rengek Taehyung yang mulai kehilangan sikap cool-nya.
“Apa kalian tidak akan kembali ke kelas?”, lanjut Taehyung yang ditujukan pada semua orang dalam ruangan.
“Maksudmu meninggalkan semua kesenangan disini dan mengikuti pelajaran yang membosankan? Aku rasa ruangan ini sudah terlalu posesif padaku, dia tidak akan mengijinkanku pergi.”, Hoseok menjawab  berlebihan dengan menempelkan tubuhnya pada dinding.
“Bagaimana kalau wali kelas mencari dan menemukan kita di sini?”, Taehyung membagi kecemasannya.
“Tidak akan”, sahut Yoongi.
Masih dengan mata terpejam dan tubuh terbaring di atas jajaran kursi, Yoongi melanjutkan, “Tidak akan ada masalah dengan satu atau dua orang menghilang dari kelas. Kecuali kita berada di kelas yang sama dan menyebabkan 7 bangku kosong dalam satu kelas.”
Dan begitulah. Pada hari itu mereka resmi membolos.
Part 2
“Kapan Pak Tua ini akan selesai berbicara?”
Jimin yang duduk di sebelah, menendang kaki Taehyung. “Hey, pelankan suaramu. Kau akan berakhir menghabiskan jam istirahatmu di ruang BK selama seminggu kedepan kalau sampai dia dengar.”
*Bel istirahat berbunyi*
“Aah, akhirnya berakhir sudah penderitaanku. Jimin-ah, ayo kita ke kantin sekarang. Cacing-cacing di perutku sudah meronta minta makan.”
“Kamu bisa pergi duluan. Aku mau ke toilet. Pencernaanku bekerja terlalu lancar akhir-akhir ini.”
Taehyung berencana pergi ke kelas Jungkook untuk mengajaknya ke kantin bersama.
Ketika dia  melewati kelas Seokjin, dia melihat Seokjin dan Ahra sedang mengobrol berdua di dekat loker. Ahra terlihat mengeluarkan sebuah surat dari balik punggungnya, dan memberikannya pada Seokjin.
Taehyung tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ia tidak lagi merasa lapar. Dia tidak menyangka menu makan siangnya hari ini adalah sebuah pengkhianatan. Dia pun berbalik arah dan kembali ke kelasnya.
Jimin yang kembali dari toilet nampak heran mendapati sahabatnya masih duduk di bangku.
“Bukankah kamu bilang lapar? Kenapa masih di sini?”
“Aku sudah kenyang.”, Taehyung menjawab dengan singkat.
“Apa kau sungguh lapar dan langsung menuangkan seluruh isi nampan ke dalam mulutmu? Aku baru saja kembali dari toilet, mana mungkin kamu makan secepat ini. Hahahaaa.”
Taehyung tidak menanggapi gurauan Jimin. Pikirannya hanya terfokus pada apa yang tadi dia lihat.
Melihat Taehyung yang tanpa reaksi, Jimin sadar ada yang tidak beres.
“Taehyung-ah, apa kau baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu saat aku ke toilet?”
“Tidak ada apa-apa. Aku sungguh sudah kenyang. Seseorang sudah memberiku makan siang gratis. Sesuatu yang bisa kau telan dengan cepat meski akan cukup sulit untuk dicerna.”
Sesungguhnya Jimin masih tidak paham. Tapi dia memutuskan untuk berhenti bertanya. Terkadang Taehyung memang suka berbicara dengan bahasa yang sulit dimengerti.
Part 3
Keesokan harinya, sepulang sekolah mereka bertujuh berkumpul di ruang galeri untuk membahas rencana akhir pekan.
“Apa yang akan kita lakukan akhir pekan ini?”. Jungkook selalu bersemangat kalau soal menghabiskan akhir pekan bersama.
“Mendaki?”, Namjoon mencoba memberi usulan.
“Terlalu melelahkan.”, Yoongi dengan kilat melakukan penolakan.
“Pantai?”
“Yaaa Park Jimin, apa kau ingin bermain voli pantai dengan mengenakan mantel hangatmu? Sekarang sedang musim dingin.”, Seokijn menanggapi usulan Jimin.
“Bagaimana kalau kita ke taman hiburan saja? Ada banyak pilihan wahana bermain.”
“Mendengarnya saja aku sudah mual Jungkook-ah.”. Hoseok ingat terakhir kali mereka naik Viking di taman hiburan, ia muntah-muntah dan jatuh sakit.
“Taehyung-ah, bagaimana menurutmu? Apa kau punya ide?”. Namjoon mengamati Taehyung yang sedari tadi tidak berkata apapun.
Taehyung masih diam. Namun kemudian dia berkata, “Seokjin hyung….”
“Kenapa? Apa kau ingin aku yang memutuskan?”
“Apa hyung tidak ingin menceritakan sesuatu pada kami?”
Semua menatap bingung pada Taehyung. Tidak tahu kemana pembicaraan ini akan mengarah.
“Aku? Cerita tentang apa? Aku sedang tidak ada lelucon untuk kuceritakan.”
“Hyung, berhentilah berpura-pura sebagai orang bodoh.”, ucap Taehyung setengah berteriak sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Taehyung-ah, ada apa denganmu?”. Hoseok memegang pundak Taehyung, mengajaknya untuk duduk kembali, tapi Taehyung menghempas tangan Hoseok.
“Aku melihatmu bersama Ahra noona kemarin siang.”
“Lalu? Apa yang harus kuceritakan? Dia teman sekelasku. Aku mungkin bisa bersamanya hampir seharian.”
“Baiklah kalau hyung trus bersikap begini. Aku yang akan cerita. Aku melihatmu menerima surat dari Ahra noona. Apa kau akan bilang kalau hal itu wajar terjadi antar teman sekelas?”
“Jadi kau tahu tentang surat yang diberikan Ahra padaku?”
“Ya, aku melihat semuanya dengan jelas kemarin.”
“Karena kau menyinggung tentang surat itu., aku ingin minta maaf dulu sebelumnya.”
“Jadi hyung merasa bersalah sekarang? Apa hyung akan tetap diam jika aku tidak mengatakan apapun? Aku tidak menyangka hyung akan menikamku dari belakang. Dibelakangku hyung mendekati Ahra noona meskipun tahu aku menyukainya.”
“Taehyung-ah, bukan seperti itu yang terjadi.”
“Sudahlah hyung. Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Sudah cukup kebohongan yang kuterima. Dengan bodohnya aku menceritakan semua hal padamu. Dan dengan bodoh pula aku bahagia atas segala dukungan yang kau beri. Yang ternyata itu semua palsu.”
“Taehyung-ah, dengarkan dulu penjelasan Kim Seokjin. Aku rasa ini semua hanya salah paham.”, Yoongi berusaha untuk menengahi.
“Yoongi hyung benar. Ini pasti salah paham. Seokjin hyung tidak mungkin mengkhianatimu.”
“Jimin-ah, aku mungkin bisa berpikir ini sebuah kesalahpahaman bila aku mendengar cerita dari orang lain, tapi aku melihat semua dengan mata kepalaku sendiri.”
“Tapi setidaknya dengarkan dulu penjelasan Seokjin hyung.”. Jimin masih berusaha menenangkan Taehyung.
Taehyung menyeringai, kemudian berkata, “Sepertinya semua memihak pada Seokjin hyung. Bahkan kau juga Jimin-ah. Silahkan kalau kalian berpikir Seokjin hyung adalah kakak tertua yang sempurna dengan hati malaikat. Tapi bagiku tidak lagi.”
Taehyung pergi meninggalkan ruangan.
Tidak ada lagi euphoria menyambut akhir pekan.
“Hyung, sebenarnya apa yang terjadi?”, Namjoon meminta penjelasan dari Seokjin. Dia masih tidak memahami drama apa yang sedang terjadi saat ini. 
“Maaf. Aku tidak bisa menceritakan segalanya. Aku sudah janji pada Ahra. Tapi aku berani bersumpah diantara aku dan Ahra tidak ada hubungan apa-apa. Dan aku juga tidak memiliki perasaan apapun padanya.”



(to be continued...)

LET GO Pt.4 (FINALE)

Good Goodbye

Yoongi dan Minji sedang duduk berdua di taman dekat apartemen Minji.
“Oppa, kenapa malam-malam datang ke sini?”
Yoongi menyodorkan sebuah bungkusan.
“Apa ini?”
“Kue kesukaanmu.”
Minji membuka bungkusan itu. Ada cheese cake di dalamnya.
“Dalam rangka apa?”
“Nggak ada alasan khusus.”
“Apa oppa pengen aku gendut ngasi ini malam-malam?”
“Kamu bahkan makan lebih banyak dari aku, tapi nggak gemuk juga nyatanya.”
“Hahahaaa.”, Minji tertawa mendengarnya. Tapi tawa itu menghilang dengan cepat.
Suasana menjadi hening.
“Kamu kenapa?”
“Oppa, sebenarnya…”, Minji tidak sanggup melanjutkan kata-katanya saat memandang mata Yoongi.
Ia tidak tahu apakah sekarang ini waktu yang tepat. Tapi lebih cepat ia jujur bukankah lebih baik.
“Kamu mau bilang apa?”
“Aku jatuh cinta pada seseorang.”
Yoongi tidak memberikan reaksi apapun. Ia tahu Minji belum selesai berbicara.
“Aku tahu harusnya nggak ngelakuin ini, tapi aku nggak mau bohong sama perasaanku sendiri. Apa yang aku rasain ke oppa selama ini tulus. Tapi aku sadar, rasa ini bukan cinta. Aku sayang oppa sebagai seorang kakak laki-laki yang nggak pernah aku miliki sebelumnya.”
“Aku minta maaf…”
“Kenapa oppa yang minta maaf? Oppa nggak pernah melakukan kesalahan apapun.”
“Maaf karena seharusnya aku bisa memperlakukanmu sebagai seorang wanita dengan lebih baik lagi.”
“Yoongi oppa….”
“Aku baik-baik aja kok. Makasih kamu sudah mau jujur.”
“Meski aku kedengeran egois, tapi aku harap kita tetap bisa jadi sahabat baik.”
“Cheese cake itu pada akhirnya jadi sebuah kue perpisahan.”
“Maafin aku….”, Minji menundukkan kepalanya.
“Aku nggak tahu harus bilang apa. Apa aku harus hibur kamu biar kamu merasa lebih baik? Tapi aku sendiri nggak yakin sama kondisiku saat ini.”
Yoongi bangkit dari duduknya, dan melanjutkan, “Kayaknya otakku juga nggak bisa diajak mikir dengan benar buat sekarang. Sebaiknya kamu masuk dan istirahat. Aku pulang dulu ya….”
Tanpa menunggu respon dari Minji, Yoongi melangkah pergi. Melambaikan tangannya, tanpa menoleh ke belakang.     
Langkahnya terhenti saat melintasi sebuah café. Café itu sudah tutup. Gelap. Tapi Yoongi masih dapat melihat dengan jelas bagian dalamnya melalui dinding kaca yang dibantu sorotan lampu jalan.
Memorinya memainkan kembali adegan kencan pertamanya di café itu.
Tiba-tiba pipinya terasa hangat. Tanpa ia sadari, air mata mengalir dari matanya.
Kini semuanya telah berakhir. Dia bisa apa kalau memang hati Minji memilih tempat yang lain. Yang bisa Yoongi lakukan hanya melepaskan. Tapi dia akan melepaskan dengan benar, dan itu bukan malam ini.
Setelah otaknya mulai dapat diajak bekerjasama, Yoongi mengirim pesan kepada Minji. Ia mengajak Minji untuk bertemu di café itu. Ia berencana untuk mengakhiri segalanya di tempat semua itu dimulai.
Yoongi datang 30 menit lebih awal dari waktu yang ditentukan. Bukan karena ia tidak ingin Minji menunggu, tapi karena dia takut. Dia takut jika Minji yang datang lebih dulu, ia akan berbalik pulang setelah melihat sosok Minji dari luar.
Belum ada 30 menit menunggu, Minji terlihat memasuki pintu café dan berjalan ke arah Yoongi. Rambut hitamnya dibiarkan terurai. Dengan mengenakan mini dress tanpa lengan berwarna peach, Minji tampak cantik seperti biasa. Tidak, dia bahkan lebih cantik dari biasanya.
“Apa aku telat?”
“Enggak kok, aku juga baru datang.”, jawab Yoongi berbohong.
Mereka kemudian mulai memesan minuman.
Minji membuka percakapan, “Rasanya seperti baru kemarin kita datang kesini.”
“Dan hari ini akan jadi hari terakhir kita kesini.”
“Apa oppa nggak akan nemuin aku lagi habis gini?”
“Akan lebih baik kalau kita nggak saling ketemu lagi. Aku nggak benci sama kamu. Bukan salahmu kalau kamu suka sama orang lain. Kita nggak pernah tahu akan jatuh cinta sama siapa.”
“Baiklah kalau itu yang oppa mau. Maaf kalau aku egois dengan minta oppa tetap ada buatku.”
Pelayan datang mengantarkan segelas vanilla latte dan coffee latte.
“Kamu bisa memulai hubungan baru dengan orang yang emang kamu suka. Aku nggak akan melewati batasku sebgai seorang mantan.”
“Aku nggak akan memulai hubungan sama siapapun.”
“Kenapa enggak?”
“Karena aku sudah ditolak.”
Yoongi meminum coffee lattenya. Mendengar jawaban Minji, menimbulkan perdebatan antara hati dan pikirannya. Logikanya membuat dia ingin marah mengetahui fakta bahwa Minji menyatakan perasaan pada orang lain bahkan sebelum mereka resmi berpisah. Tapi hatinya berbahagia mengetahui kenyataan bahwa Minji ditolak, yang berarti ada kesempatan baginya untuk mempertahankan hubungan.
“Siapa?”, kata itu meluncur begitu saja dari mulut Yoongi, di tengah kebimbangan yang dialaminya.
“Kim Seokjin.”
“Maksudmu Kim Seokjin yang kukenal?”
“Iya, benar. Aku ngungkapin perasaanku di hari terakhir aku periksa ke rumah sakit. Oppa tahu apa yang dia bilang ke aku? Dia cuma bilang maaf. Dan dia minta jangan sampai aku cerita ke oppa tentang semua ini. Tapi aku rasa oppa harus tahu.”
“Aku sama sekali nggak sadar kalau yang kamu suka adalah Seokjin hyung. Sebenarnya nggak terlalu penting kalo kamu suka sama Kim Seokjin, Kim Namjoon, atau bahkan Jung Hoseok sekalipun. Pada intinya adalah hatimu bukan buatku. Aku nggak punya kata-kata manis buat kusampaikan. Aku cuma berharap kamu bisa ngejalani hari-hari dengan baik.”
Yoongi pergi ke rumah Seokjin setelah pulang dari café. Ia duduk di depan teras, menunggu Seokjin kembali dari rumah sakit.
“Yoongi hyung…., ngapain di luar sini?”, Namjoon datang bersama Seokjin.
“Aku mau ngomong sesuatu sama Seokjin hyung.”
Namjoon menyadari situasi yang sedang terjadi. Ia pun langsung masuk ke dalam rumah.
Seokjin duduk di sebelah Yoongi.
“Kamu mau ngomong soal apa?”
“Minji sudah cerita semuanya sama aku.”
“Ooh.”
“Apa hyung juga suka Minji?”
“Apa itu penting aku suka atau nggak?”
“Kenapa hyung nolak dia? Apa karena ngerasa nggak enak sama aku?”
“Hahahaa, nggak usah ke-GR-an….”
“Terus kenapa? Aku nggak masalah kalau hyung pacaran sama MInji.”
“Sorry ya, aku nggak terima barang bekas dari kamu.”
“Sialan…. Aku serius hyung.”
“Yoongi-yah, buat sekarang aku cuma mau fokus sama pendidikanku. Anggaplah aku emang suka Minji, aku nggak akan bisa memperlakukan dia sebaik apa yang kamu lakuin. Kamu nggak nyesel nglepasin Minji?”
“Nggak semua kehilangan adalah sebuah kerugian. Untuk sekarang aku belajar merelakan, mungkin kedepan aku akan belajar untuk memperjuangkan.”


-END-