Good Goodbye
Yoongi dan
Minji sedang duduk berdua di taman dekat apartemen Minji.
“Oppa, kenapa
malam-malam datang ke sini?”
Yoongi
menyodorkan sebuah bungkusan.
“Apa ini?”
“Kue
kesukaanmu.”
Minji membuka
bungkusan itu. Ada cheese cake di dalamnya.
“Dalam rangka
apa?”
“Nggak ada
alasan khusus.”
“Apa oppa
pengen aku gendut ngasi ini malam-malam?”
“Kamu bahkan
makan lebih banyak dari aku, tapi nggak gemuk juga nyatanya.”
“Hahahaaa.”,
Minji tertawa mendengarnya. Tapi tawa itu menghilang dengan cepat.
Suasana
menjadi hening.
“Kamu kenapa?”
“Oppa,
sebenarnya…”, Minji tidak sanggup melanjutkan kata-katanya saat memandang mata
Yoongi.
Ia tidak tahu
apakah sekarang ini waktu yang tepat. Tapi lebih cepat ia jujur bukankah lebih
baik.
“Kamu mau
bilang apa?”
“Aku jatuh
cinta pada seseorang.”
Yoongi tidak
memberikan reaksi apapun. Ia tahu Minji belum selesai berbicara.
“Aku tahu
harusnya nggak ngelakuin ini, tapi aku nggak mau bohong sama perasaanku
sendiri. Apa yang aku rasain ke oppa selama ini tulus. Tapi aku sadar, rasa ini
bukan cinta. Aku sayang oppa sebagai seorang kakak laki-laki yang nggak pernah
aku miliki sebelumnya.”
“Aku minta
maaf…”
“Kenapa oppa
yang minta maaf? Oppa nggak pernah melakukan kesalahan apapun.”
“Maaf karena
seharusnya aku bisa memperlakukanmu sebagai seorang wanita dengan lebih baik
lagi.”
“Yoongi oppa….”
“Aku baik-baik
aja kok. Makasih kamu sudah mau jujur.”
“Meski aku
kedengeran egois, tapi aku harap kita tetap bisa jadi sahabat baik.”
“Cheese cake
itu pada akhirnya jadi sebuah kue perpisahan.”
“Maafin aku….”,
Minji menundukkan kepalanya.
“Aku nggak
tahu harus bilang apa. Apa aku harus hibur kamu biar kamu merasa lebih baik?
Tapi aku sendiri nggak yakin sama kondisiku saat ini.”
Yoongi bangkit
dari duduknya, dan melanjutkan, “Kayaknya otakku juga nggak bisa diajak mikir
dengan benar buat sekarang. Sebaiknya kamu masuk dan istirahat. Aku pulang dulu
ya….”
Tanpa menunggu
respon dari Minji, Yoongi melangkah pergi. Melambaikan tangannya, tanpa menoleh
ke belakang.
Langkahnya terhenti saat
melintasi sebuah café. Café itu sudah tutup. Gelap. Tapi Yoongi masih dapat
melihat dengan jelas bagian dalamnya melalui dinding kaca yang dibantu sorotan
lampu jalan.
Memorinya memainkan kembali
adegan kencan pertamanya di café itu.
Tiba-tiba pipinya terasa hangat.
Tanpa ia sadari, air mata mengalir dari matanya.
Kini semuanya telah berakhir. Dia
bisa apa kalau memang hati Minji memilih tempat yang lain. Yang bisa Yoongi
lakukan hanya melepaskan. Tapi dia akan melepaskan dengan benar, dan itu bukan
malam ini.
Setelah otaknya mulai dapat
diajak bekerjasama, Yoongi mengirim pesan kepada Minji. Ia mengajak Minji untuk
bertemu di café itu. Ia berencana untuk mengakhiri segalanya di tempat semua
itu dimulai.
Yoongi datang 30 menit lebih awal
dari waktu yang ditentukan. Bukan karena ia tidak ingin Minji menunggu, tapi
karena dia takut. Dia takut jika Minji yang datang lebih dulu, ia akan berbalik
pulang setelah melihat sosok Minji dari luar.
Belum ada 30 menit menunggu,
Minji terlihat memasuki pintu café dan berjalan ke arah Yoongi. Rambut hitamnya
dibiarkan terurai. Dengan mengenakan mini dress tanpa lengan berwarna peach,
Minji tampak cantik seperti biasa. Tidak, dia bahkan lebih cantik dari
biasanya.
“Apa aku telat?”
“Enggak kok, aku juga baru
datang.”, jawab Yoongi berbohong.
Mereka kemudian mulai memesan
minuman.
Minji membuka percakapan, “Rasanya
seperti baru kemarin kita datang kesini.”
“Dan hari ini akan jadi hari
terakhir kita kesini.”
“Apa oppa nggak akan nemuin aku
lagi habis gini?”
“Akan lebih baik kalau kita nggak
saling ketemu lagi. Aku nggak benci sama kamu. Bukan salahmu kalau kamu suka
sama orang lain. Kita nggak pernah tahu akan jatuh cinta sama siapa.”
“Baiklah kalau itu yang oppa mau.
Maaf kalau aku egois dengan minta oppa tetap ada buatku.”
Pelayan datang mengantarkan
segelas vanilla latte dan coffee latte.
“Kamu bisa memulai hubungan baru
dengan orang yang emang kamu suka. Aku nggak akan melewati batasku sebgai
seorang mantan.”
“Aku nggak akan memulai hubungan
sama siapapun.”
“Kenapa enggak?”
“Karena aku sudah ditolak.”
Yoongi meminum coffee lattenya. Mendengar
jawaban Minji, menimbulkan perdebatan antara hati dan pikirannya. Logikanya
membuat dia ingin marah mengetahui fakta bahwa Minji menyatakan perasaan pada
orang lain bahkan sebelum mereka resmi berpisah. Tapi hatinya berbahagia
mengetahui kenyataan bahwa Minji ditolak, yang berarti ada kesempatan baginya
untuk mempertahankan hubungan.
“Siapa?”, kata itu meluncur
begitu saja dari mulut Yoongi, di tengah kebimbangan yang dialaminya.
“Kim Seokjin.”
“Maksudmu Kim Seokjin yang
kukenal?”
“Iya, benar. Aku ngungkapin
perasaanku di hari terakhir aku periksa ke rumah sakit. Oppa tahu apa yang dia
bilang ke aku? Dia cuma bilang maaf. Dan dia minta jangan sampai aku cerita ke
oppa tentang semua ini. Tapi aku rasa oppa harus tahu.”
“Aku sama sekali nggak sadar
kalau yang kamu suka adalah Seokjin hyung. Sebenarnya nggak terlalu penting kalo
kamu suka sama Kim Seokjin, Kim Namjoon, atau bahkan Jung Hoseok sekalipun.
Pada intinya adalah hatimu bukan buatku. Aku nggak punya kata-kata manis buat
kusampaikan. Aku cuma berharap kamu bisa ngejalani hari-hari dengan baik.”
Yoongi pergi ke rumah Seokjin
setelah pulang dari café. Ia duduk di depan teras, menunggu Seokjin kembali
dari rumah sakit.
“Yoongi hyung…., ngapain di luar
sini?”, Namjoon datang bersama Seokjin.
“Aku mau ngomong sesuatu sama
Seokjin hyung.”
Namjoon menyadari situasi yang
sedang terjadi. Ia pun langsung masuk ke dalam rumah.
Seokjin duduk di sebelah Yoongi.
“Kamu mau ngomong soal apa?”
“Minji sudah cerita semuanya sama
aku.”
“Ooh.”
“Apa hyung juga suka Minji?”
“Apa itu penting aku suka atau
nggak?”
“Kenapa hyung nolak dia? Apa
karena ngerasa nggak enak sama aku?”
“Hahahaa, nggak usah ke-GR-an….”
“Terus kenapa? Aku nggak masalah
kalau hyung pacaran sama MInji.”
“Sorry ya, aku nggak terima
barang bekas dari kamu.”
“Sialan…. Aku serius hyung.”
“Yoongi-yah, buat sekarang aku
cuma mau fokus sama pendidikanku. Anggaplah aku emang suka Minji, aku nggak
akan bisa memperlakukan dia sebaik apa yang kamu lakuin. Kamu nggak nyesel
nglepasin Minji?”
“Nggak semua kehilangan adalah
sebuah kerugian. Untuk sekarang aku belajar merelakan, mungkin kedepan aku akan
belajar untuk memperjuangkan.”