DECISION EP.1 : Part 1

Monologue: “Introduction”

Kim Namjoon. Aku berdiri menatap diriku di depan cermin. Dengan setelan jas hitam membosankan, yang membuatku tampak semakin suram. Tapi tidak bagi ayahku. Aku akan tampak mengesankan untuk dipamerkan kepada relasinya dalam pertemuan malam ini. Sama seperti malam-malam sebelumnya, yang perlu kulakukan hanyalah memasang senyum palsu, membual tentang berita yang kubaca di surat kabar pagi ini, yang bagi mereka dianggap intelektual.

Kim Seokjin. Sudah lewat pukul 01.00 dini hari. Lampu ruang keluarga masih menyala. Artinya ibuku masih ada di sana, yang kemungkinan besar sebentar lagi akan masuk ke kamar memastikan aku sungguh-sungguh belajar untuk ujianku minggu depan. Di saat teman seusiaku mungkin menghabiskan akhir pekan mereka untuk menonton film atau pergi ke taman hiburan, di sini lah aku, duduk manis di balik meja, ditemani tumpukan buku dan sepiring potongan buah segar yang belum kusentuh sama sekali.

Min Yoongi. Ada sesuatu yang hangat kurasakan di tanganku. Air mata ibuku. Dengan lembut ia mengusap luka di sudut bibirku. Aku tahu dia menangis, tapi aku tidak ingin menatapnya. Tidak banyak yang bisa dilihat dalam kamarku yang sempit. Aku hanya memandang kosong pada “Midi Controller”ku yang telah hancur di sudut kamar. Mungkin ini memang saatnya bagiku untuk berhenti.

Jung Hoseok. Sungguh hari yang melelahkan. Aku merasa bersalah kepada tubuhku yang seharian kubiarkan terduduk kaku mendengarkan ceramah tentang literasi. Aku tidak membencinya, tapi aku sama sekali tidak bisa menikmatinya. Apa yang menarik hingga ayah begitu membanggakannya. Kupasang headphoneku sambil merebahkan diri di tempat tidur, musik mulai mengalun di telinga, dan kubiarkan tubuhku perlahan menari dalam pikiranku.

Park Jimin. Tidak ada yang lebih normal dibanding menghabiskan akhir pekan di tempat karaoke bersama teman-teman hingga larut malam. Setidaknya aku tampak normal bagi orang tuaku, meski temanku menganggapku konyol. Siapa yang mau menghabiskan uang untuk berjam-jam berada di tempat karaoke tanpa menyanyikan sebait lagu pun. Tapi aku tidak perduli walaupun mereka menyebutku bodoh. Dan entah kenapa segala teriakan sumbang mereka terasa menenangkan, membuatku merasa  sedikit lebih baik.

Kim Taehyung. Selama ini ramyun adalah yang terbaik untuk dinikmati kapan pun, di mana pun, tapi tidak untuk malam ini. Mungkin aku tidak lapar, mungkin indra perasaku bermasalah, atau mungkin ada yang salah dengan ramyunnya. Ku lihat orang di sebelahku menyantap ramyun dengan lahapnya, dengan uap panas yang masih mengepul. Aku tahu yang salah bukan lah aku atau ramen yang kumakan, tetapi sepucuk surat yang ada di depanku.

Jeon Jungkook. Tepukan tangan para pejalan kaki di Hongdae menutup penampilan terakhirku. Kukemas gitar dan berjalan ke halte untuk mengejar bus terakhir menuju rumah. Untuk pengertian sederhana, bangunan itu memang sebuah rumah bagiku. Namun sepertinya jiwaku tidak pernah pulang ke sana. Mungkin karena tidak ada yang menungguku pulang, atau pun mengharapkanku pulang. 

Post a Comment