Hyung
Hoseok
menghampiri Taehyung yang sedari tadi ia lihat memandang kosong ke luar jendela
kelas.
“Hey, apa yang
kau lihat di luar sana? Apakah ada yang menarik untuk dilihat?”, Hoseok menepuk
punggung Taehyung, diikuti dengan menjulurkan kepalanya, mencoba mencari tahu
keluar jendela.
“Tidak ada
apa-apa di luar sana.”, jawab Taehyung singkat.
“Kalau begitu
kenapa kau terus menatap ke sana? Apa kau berniat memecahkan kaca jendela
dengan tatapan intensmu?”
“Berhenti
menggodaku. Aku sedang tidak dalam mood untuk bercanda.”
“Biasanya kau
sibuk dengan kameramu. Entah mengambil foto di sana-sini, atau mengelap
lensanya tiada henti. Aku tidak melihatnya hari ini.”
“Aku sudah
menjualnya.”
“Menjualnya?
Kenapa? Kau bahkan tidak mengijinkanku meminjamnya.”
Taehyung menarik
nafas panjang, sebelum menjawab pertanyaan Hoseok. Dan kemudian mulai bercerita
dengan suara beratnya yang khas.
“Apa kau ingat
alasanku datang bersekolah ke Seoul? Karena orang tuaku berharap aku bisa
mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari pada di desa. Berharap selanjutnya
aku juga bisa masuk perguruan tinggi terkenal, dan pada akhirnya bisa menjadi
karyawan salah satu perusahaan besar.”
“Iya, aku
ingat, kau sudah pernah bercerita sebelumnya.”
“Setelah aku
datang ke Seoul, aku mulai jatuh cinta dengan fotografi. Menghabiskan
tabunganku untuk membeli kamera, untuk segala kecintaanku pada fotografi. Aku
mulai terlena dan melupakan alasan utamaku datang ke sini.”
Hoseok
mendengarkan sambil memperhatikan wajah Taehyung dengan seksama.
Taehyung
melanjutkan ceritanya dengan pandangan yang masih ke arah luar jendela.
“Orang tuaku
mengirimkan sebuah surat. Mereka mengatakan kalau kondisi keuangan di rumah
sedang tidak baik untuk saat ini. Akan sedikit sulit untuk mencukupi
kebutuhanku di sini selama beberapa waktu. Meski begitu mereka akan tetap
berupaya aku tidak akan putus sekolah. Surat itu benar-benar sebuah tamparan
keras bagiku. Dadaku terasa sesak membacanya. Aku sadar telah melakukan suatu
kesalahan.”
Taehyung
menoleh ke arah Hoseok, “Aku sudah mengecewakan orang tuaku. Aku seharusnya
belajar dengan baik di sini. Aku seharusnya tahu diri bahwa aku bukan anak
orang kaya yang bisa dengan mudah melakukan apapun yang aku suka. Orang tuaku
bersusah payah membiayai sekolahku, dan aku dengan egoisnya hanya memikirkan
tentang kesenanganku sendiri tentang fotografi.”
Butuh beberapa
saat bagi Hoseok untuk berkomentar. Taehyung bukan seorang pemarah, tapi dia
cukup sensitif, jadi Hoseok harus memikirkan dengan baik tentang apa yang akan
dia katakan.
“Sebenarnya bagiku
kau tidak sepenuhnya mengecewakan orang tuamu. Kau bersekolah dengan baik di
sini. Kau mungkin bukan salah satu siswa berprestasi, tapi kau tidak pernah
berada di bagian bawah, dan kau tidak pernah menyebabkan masalah.”
Hoseok ingin
mengatakan bahwa pernyataan Taehyung tentang anak orang kaya bisa dengan mudah
melakukan apa yang disuka adalah sama sekali tidak benar. Hoseok sama sekali
tidak memiliki kebebasan pada kecintaannya akan tari. Uang bukanlah segalanya.
Tapi dia berpikir lebih baik tidak mengatakan itu semua. Bukan hal tepat untuk
berkomentar tentang uang.
Hoseok
melanjutkan kalimatnya, “Jadi rencanamu untuk saat ini apa?”
“Aku rasa aku
butuh kerja paruh waktu mulai dari sekarang.”
“Taehyung-ah,
aku rasa aku tahu siapa yang bisa membantumu.”
“Hmm, siapa?”
“Ayo ikut
aku….”
Mereka berdua
berjalan menyusuri koridor, menaiki beberapa anak tangga, dan sampailah di
depan sebuah ruangan.
Taehyung
menatap Hoseok dengan bingung, “Kenapa membawaku ke ruang siaran radio? Apa aku
bisa mendapatkan pekerjaan dari sini?”
“Aku akan
mengenalkanmu pada seseorang.”
Hoseok membuka
pintu, dan menyapa seseorang yang duduk di sudut ruangan.
“Yoongi
hyung….”
“Kenapa kau ke
sini? Hari ini bukan jadwalmu untuk siaran.”
“Aku tahu….”,
Hoseok menjawab sambil tersenyum lebar, berjalan mendekati Yoongi. Taehyung
masih berdiri di depan pintu.
“Hyung, aku
butuh bantuanmu.”
“Kau salah
tempat. Aku bukan pegawai publik yang siap menolongmu setiap saat.”
“Aku serius hyung.
Bisakah kau membantu sahabatku? Bukankah kau bekerja di kafe, tolong ajak dia
bekerja di sana juga. Dia benar-benar perlu sebuah pekerjaan saat ini. Ayolah
hyung…”, Hoseok mulai menarik lengan Yoongi, bagaikan seorang anak kecil yang
merengek meminta dibelikan permen.
Hoseok menoleh
ke arah Taehyung, memberikan isyarat untuk mendekat.
“Hyung, ini
teman sekelasku, Taehyung.”
“Taehyung-ah,
beri salam pada Yoongi hyung. Dia akan membantumu untuk bisa dapat pekerjaan
paruh waktu.”
“Benarkah??
Terimakasih banyak Yoongi sunbae.”, Taehyung membungkuk sambil tersenyum lebar
hingga kau dapat melihat seluruh giginya.
“Temui aku di
depan gerbang usai sekolah.”
“Baik Yoongi
sunbae.”, Taehyung menjawab masih dengan senyum yang lebar.
“Kau bisa
memanggilku hyung saja.”
“Baiklah Yoongi
hyung. Kau adalah orang pertama yang kupanggil hyung.”
Yoongi tidak
memberikan reaksi apapun atas pernyataan Taehyung barusan.
Hoseok
hanya bisa tersenyum melihat sahabatnya yang kini mulai tampak ceria, tidak
murung lagi.