Tangled
“Halo, Yoongi hyung?”
“Kenapa Hoseok-ah?”
“Bisa nggak datang ke studio?”
“Kenapa emangnya?”
“Hmmm, Minji cedera pas latihan…”
Begitu mendengar kabar dari
Hoseok, Yoongi langsung pergi untuk melihat keadaan Minji.
“Minji-yah, bagian mana yang
sakit?”
“Nggak apa-apa kok. Kayaknya cuma
terkilir biasa aja, nanti juga sembuh sendiri.”, Minji menjawab sambil memijat
pergelangan tangan kirinya.
“Hyung, sebaiknya kamu antar
Minji ke rumah sakit.”, Hoseok khawatir dengan keadaan Minji.
“Ayo aku antar ke rumah sakit
sekarang.”, ucap Yoongi dengan tatapan sedikit memohon.
Minji akhirnya bersedia pergi ke
rumah sakit. Tapi bukannya ke bagian registrasi, Yoongi mengajak Minji ke
cafeteria.
“Oppa, kenapa kita malah ke
sini?”
“Seseorang akan datang kesini
buat meriksa kamu. Nah, itu dia… Seokjin hyung!”, Yoongi melambaikan tangan ke
arah Seokjin yang baru saja masuk cafeteria.
“Hyung, kenalin, ini Park Minji.
Minji-yah, ini Seokjin hyung, dia lagi ambil pendidikan spesialis orthopedi di
sini.”
“Aah, jadi ini yang namamya
Minji.”
“Salam kenal.”, Minji sedikit
membungkuk untuk memberi salam.
“Gimana, apa yang bisa aku
bantu?”, Seokjin bertanya ke Yoongi, setelah tersenyum pada Minji.
“Pergelangan tangannya terkilir
pas latihan, apa hyung bisa memeriksanya?”
“Kamu bahkan nggak pernah ngirim
pesan meskipun aku ulang tahun. Minji pasti sangat spesial sampai kamu minta
aku kesini. Boleh aku lihat tanganmu?”, Seokijn menjulurkan tangannya pada
Minji, dan mulai memeriksa.
“Aku nggak bisa tahu pasti, tapi
kayaknya ada cedera di bagian dalam. Apa besok pagi kamu bisa ke rumah sakit
lagi buat rontgen?”
Minji menoleh ke arah Yoongi.
“Aku nggak bisa kalau besok pagi.
Apa nggak bisa sekarang hyung?”
“Lab-nya sudah tutup kalau
sekarang.”
“Oppa, aku bisa pergi sendiri
besok pagi.”, sahut Minji.
“Benarkah?”, Yoongi sedikit
cemas.
Melihat ekspresi Yoongi, Seokjin
kemudian berkata, “Tenang aja, biar besok aku yang nemenin dia. Sementara aku
kasih obat penghilang rasa sakit dulu. Tunggu ya aku ambilin.”
Setelah menerima obat dari
Seokjin, Yoongi berpamitan lalu mengantarkan Minji pulang.
“Apa kamu beneran nggak apa-apa
kalau besok pagi balik ke rumah sakit sendirian?”, Yoongi memastikan kembali,
sesaat setelah mereka duduk dalam bus.
“Iya, beneran. Lagian kan besok
juga ada temenmu. Aku bukan anak kecil lagi yang nggak bisa kemana-mana
sendirian.”
“Oke. Hubungi aku kalau ada
apa-apa.”
Minji menjawab dengan anggukan,
lalu menyandarkan kepalanya di pundak Yoongi. Matanya perlahan terpejam. Yoongi
melirik sejenak ke arah Minji yang sudah terlelap sebelum kemudian menatap ke
luar jendela. Dan mereka pun melewatkan sepanjang perjalanan dalam diam.
Keesokan paginya Seokjin sudah
berada di lobby rumah sakit menunggu Minji.
“Maaf Seokjin-ssi, aku datang
telat.”
“Iya nggak apa-apa. Pasti
sekarang lumayan susah ya ngelakuin aktivitas sehari-hari dengan kondisi tangan
kayak gini. Ayo kita ke lab sekarang…”
Seokjin sedang memperhatikan
dengan seksama hasil rontgen Minji. Ternyata benar dugaannya, tangan Minji
tidak hanya terkilir biasa. Ada bagian tendon yang robek pada pergelangan
tangan kirinya. Bukan sesuatu yang sangat serius, jadi tidak perlu dilakukan
pembedahan.
“Minji-ssi, kamu harus
mengistirahatkan tangan kirimu paling nggak selama sebulan. Aku akan masang
bebat di pergelanganmu biar nggak banyak pergerakan, jadi tendonnya yang robek
bakal nyambung lagi.”
“Aaah, baiklah.”
“Mungkin kamu bisa datang kesini
seminggu sekali buat periksa perkembangan tanganmu.”
“Makasih ya buat semuanya…”
Sejak hari itu Minji dan Seokjin
menjadi semakin dekat. Yoongi tengah sibuk dengan project kampusnya, jadi Minji
selalu pergi menemui Seokjin sendirian untuk kontrol. Hingga tanpa terasa satu
bulan telah berlalu.
Waktu menunjukkan pukul 20.00
malam. Minji sedang duduk di cafeteria rumah sakit bersama Seokjin. Hari ini
bebat di pergelangan tangan Minji sudah bisa dilepas.
“Coba kamu putar-putar
pergelanganmu, apa masih sakit?”, ucap Seokjin setelah melepas bebat dari
tangan Minji.
“Sudah nggak sakit lagi.”, jawab
Minji sambil memutar dan menggerak-gerakkan pergelangan tangannya dengan
perlahan.
Di saat yang sama, Namjoon sedang
pergi ke rumah sakit bersama Hoseok. Ibunya menyuruh mengantarkan makanan untuk
Seokjin yang hari itu mendapat shift jaga malam.
Namjoon dan Hoseok berjalan
menuju ruangan Seokjin. Namun saat melewati cafeteria, Hoseok menyenggol lengan
Namjoon.
“Bukankah itu Seokjin hyung?”
Namjoon berhenti berjalan dan
menoleh ke dalam cafeteria.
“Iya, itu Seokjin hyung. Sama
siapa dia?”, Namjoon penasaran dengan seseorang yang sedang bersama Seokjin.
Seorang gadis berambut hitam panjang, yang wajahnya tidak nampak karena posisi
duduknya yang membelakangi sudut pandang Namjoon.
“Kenapa aku ngerasa nggak asing
ya?”, Hoseok mencoba mencari dalam ingatannya.
Mereka memutuskan untuk
menghampiri Seokjin.
Seokjin tidak menyadari bahwa
Namjoon dan Hoseok sedang berjalan ke arahnya. Dia masih mengobrol dengan
Minji.
“Syukurlah kalau emang udah nggak
sakit lagi. Tapi jangan dipakai angkat barang berat atau kamu pakai gerak
berlebihan dulu.”
“Iya… Makasih ya sudah banyak
dibantu sebulan ini.”
“Iya sama-sama. Sudah nggak perlu
bolak-balik ke rumah sakit lagi kamu.”
Mendengar kalimat Seokjin, Minji
menundukkan wajahnya. Ia menggigit bibir bagian bawahnya, kemudian berkata,
“Entah kenapa aku harap tanganku jangan sembuh dulu.”
“Hah?”, Seokjin mengkonfirmasi
apa yang baru saja dia dengar.
“Rasanya sedih nggak ada alasan
buat ketemu kamu lagi, hehehee.”, ucap Minji sambil tersenyum miris.
“Minji-ssi….”
“Aku suka sama kamu Seokjin-ssi.”
“……”, Seokjin tidak tahu harus
berkata apa.
Minji pun melanjutkan, “Aku tahu
ini kedengaran nggak masuk akal. Tapi emang itu yang aku rasain. Setelah
sebulan ini deket sama kamu, aku sadar kalau orang yang aku suka itu kamu.”
“Kenapa kamu bisa mikir gitu?”
“Aku nyaman saat sama kamu. Aku
cuma ngerasa kalau kamu adalah orang yang tepat.”
Belum sempat Seokjin berkata
apapun, Namjoon masuk dalam percakapan mereka.
“Hey Park Minji….”
Seokjin terkejut melihat ada
Namjoon dan Hoseok. Ternyata mereka mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh
Seokjin dan Minji.
Namjoon mengepalkan kedua
tangannya, mencoba menahan amarah, menghela nafas, dan melanjutkan kalimatnya.
“Maaf sebelumnya, kalo aku ikut
campur, meski sebenernya aku nggak ingin. Seokjin hyung saudaraku, jadi tolong
jangan coba permainkan perasaannya. Yoongi hyung mungkin cuek dan nggak
ekspresif, tapi dia tulus sayang sama kamu. Dan kamu hyung, kamu harusnya bisa
jaga sikap. Meskipun kamu punya perasaan yang sama ke Minji, Yoongi hyung
sahabatmu…”
Namjoon mengambil kotak bekal
dari tangan Hoseok, dan meletakkannya di atas meja, “Ini… Ibu nyuruh aku
nganterin makan malam.”
Tanpa berkata apa-apa lagi,
Namjoon langsung pergi meninggalkan cafeteria. Hoseok berjalan mengikuti di
belakangnya.
Sekeluarnya dari rumah sakit,
Namjoon meluapkan amarahnya, “Aaaaargh!”
“Tenanglah Kim Namjoon.”, Hoseok
menarik Namjoon untuk duduk di sebuah bangku, menghindari tatapan terkejut
orang-orang.
“Gimana aku bisa tenang.
Bayangkan betapa hancurnya hati Yoongi hyung kalau dia sampai tahu.”
“Jangan beritahu dia….”
“Tenang aja. Aku akan tetap jadi
orang bodoh, yang cuma bisa diam apapun yang terjadi. Itu kan yang kamu harap
aku lakuin? Apa kamu tahu, ini rasanya kayak kita ngedorong Yoongi hyung jalan
ke arah jurang. Kamu pikir dengan jalan di belakangnya, kita bisa nangkep
tangannya kalaupun dia jatuh? Enggak. Pada akhirnya dia akan tetap jatuh.
Karena dia nggak cuma dikhianati sama cewek yang dia sayang, tapi juga sama
sahabatnya sendiri.”