Vicissitudes of Life
Satu tahun
telah berlalu. Tapi bagi Jimin kejadian itu seakan baru kemarin terjadi. Dia
tahu sakit yang ditimbulkan bila ia datang ke tempat ini. Namun kakinya selalu
membawanya kemari pada setiap tanggal yang sama. Berdiri sejauh 100 m dari
pintu masuk sebuah gedung, memandangnya untuk beberapa saat, dan kemudian mulai
memejamkan mata.
Dia mendapati
dirinya sedang berada di atas panggung. Menyanyi dengan sepenuh hati. Sorakan
penonton dapat ia dengar dengan jelas. Ia merasakan kemenangan sebentar lagi
akan datang. Hingga tiba-tiba ia mendengar suaranya terpecah saat berada di klimaks
lagu.
Seketika mata
Jimin terbuka. Keringat dingin mengalir melewati pelipisnya. Entah kemana
energinya pergi, ia terduduk lemah di tanah, dengan nafas terengah-engah.
“Pengecut….”,
batinnya dalam hati sambil tersenyum sinis pada dirinya sendiri.
Merasa sudah
mampu berjalan, Jimin pulang ke rumah.
“Kau pulang
terlambat hari ini….”, ibunya membukakan pintu.
“Tadi aku makan
tteokbokki dengan teman-teman.”, Jimin menjawab sambil tersenyum, kemudian
masuk ke dalam kamar.
Ia melepas
ranselnya dan duduk di lantai, bersandar pada bagian tepi tempat tidur. Matanya
memandang seluruh bagian kamar, yang selama ini menjadi saksi bisu dari segala
kebohongan yang dia bangun. Di kamar ini dia tidak perlu memasang wajah
tersenyum. Tidak perlu bersikap bahwa dia baik-baik saja.
Apa yang
terjadi setahun yang lalu, benar-benar telah merubah hidupnya. Menyerah pada
kecintaannya dalam bernyanyi. Menyerah pada segalanya.
Dia tidak tahu
bahwa memenuhi ekspektasi orang itu adalah sesuatu yang paling mengerikan. Dan
hal yang berbahaya di dunia ini adalah kata-kata. Dengan pujian ia sampai ke
atas puncak, dengan hujatan ia terjatuh ke dalam jurang. Semudah itulah
kata-kata dapat merubah kehidupanmu.
Jimin
tidak lagi perduli akan apa yang dia suka. Saat ini satu-satunya orang yang
tidak ingin dia hancurkan ekspektasinya adalah ibunya. Yaitu menunjukkan
dirinya menjalani hari-hari dengan baik, menunjukkan dirinya baik-baik saja,
sehingga ibunya tidak merasa khawatir.