Wishing On A Scar
Sore itu Yoongi
menghabiskan waktu di lapangan basket yang kosong . Ia duduk di deretan bangku
pemain. Kaki kanannya menopang di atas paha kiri, dan tangan kanannya
menggennggam sebotol susu. Berbeda dengan penampilannya yang terkesan keras,
dia sangat menyukai susu pisang. Terdengar lagu Fly milik Epik High mengalun
dari ponselnya.
“Hyuung…..”
Seseorang
terlihat berjalan masuk ke dalam lapangan. Namun hanya tampak siluetnya saja.
Suaranya terasa familiar di telinga Yoongi. Dia adalah Hoseok.
“Hyung, kenapa
kau ada di sini? Kau tidak pergi ke kafe untuk bekerja?”
“Hari ini shift
Taehyung.”
“Aah, pantas
tadi dia buru-buru pergi. Bagaimana dengan bimbingan belajar?”
“Hari ini juga
tidak ada jadwal bimbingan.”
“Ooh….”
“Kenapa kau
tidak pulang?”
“Belum ingin.
Hehehee…..”
Kemudian mereka
berdua duduk dalam diam.
“Hey, Jung
Hoseok! Sampai kapan kau akan duduk di sebelahku? Aku sudah cukup bosan duduk
denganmu selama siaran.”
“Tidak bisakah
sekali-sekali hyung mengatakan hal yang manis padaku? Suasana hatiku saat ini
sedang kurang baik.”
Yoongi hanya
diam.
“Hyung,
setidaknya bertanyalah ‘kenapa?’…..”
“Untuk apa?
Pada akhirnya kau akan bercerita panjang lebar tanpa perlu kutanya.”
“Ruang bawah
tanah yang biasanya kugunakan berlatih menari dengan teman-teman, sekarang
sudah disegel.”
“Kau bisa
menemukan studio tari dimana-mana.”
“Itu artinya
aku harus membayar. Aku tidak bicara soal nominal, tapi seluruh keuangan
sepenuhnya dipegang ayahku. Bahkan dia tahu pengeluaranku untuk sebungkus
permen. Bisa habis aku kalau sampai ayahku tahu aku menyewa studio untuk
menari. Baginya menari itu membuang waktu, kegiatan tidak berguna dan
berbahaya. Dia benar-benar melarangku menari setelah pergelangan kakiku pernah
cedera ketika SMP dulu.”
“Kalau begitu
menari saja di jalanan, bukankah kau bisa menari di mana pun.”
“Seriuslah
sedikit hyung…”
“Apa bagimu aku
nampak membuat lelucon?!”
“Baiklah, akan
kupikirkan. Eh hyung, perdengarkan aku lagu barumu, mungkin aku bisa dapat
inspirasi membuat gerakan baru.”
“Laguku sudah
mati.”
“Apa maksudmu?”
Yoongi
mematikan lagu di ponselnya sebelum menjawab pertanyaan Hoseok.
“Aku sudah
berhenti membuat lagu.”
“Jadi kau
memutuskan menyerah pada mimpimu?”
“Menurutmu
kenapa aku tiba-tiba mau ikut bimbingan belajar? Karena untuk saat ini, aku
mengaku kalah dari ayahku.”
“Hyung….”,
Hoseok memanggil Yoongi dengan nada sedih. Entah kenapa mendengar hal itu
membuat hatinya terasa lebih sakit dari pada saat mengetahui ruang latihan
tarinya telah disegel.
“Kau tahu
istilah ‘No Pain No Gain’? Kau perlu bekerja sangat keras untuk mencapai
sesuatu yang benar-benar kau inginkan, meski artinya kau harus siap untuk
terluka juga. Berapa banyak luka lagi yang kuperlukan untuk mencapai tujuanku?
Bukan luka fisik yang tak sanggup kutahan. Aku juga tidak peduli dengan
komentar orang yang menilaiku sebagai seorang berandalan. Mereka pikir semua
luka di tubuhku karena aku mudah terlibat dalam perkelahian, tanpa mereka tahu
aku mendapat semua ini dari ayahku sendiri. Akan lebih baik jika ini hanya menyangkut
tentang diriku saja. Tapi sejauh apalagi ibuku harus ikut menanggung luka.
Berapa banyak air mata lagi yang harus ia keluarkan.”
“Tapi kau
sungguh menyukai musik. Kau ingin bisa menjadi seorang produser kan hyung…”
“Andai
saja hidup memang sesederhana antara suka dan tidak suka.”