Everythings Change
Hari ini Seokjin sedang libur.
Jadi dia, Namjoon, dan Hoseok, pergi ke restoran ayam milik ibu Yoongi.
“Haloo Bibi…..”, Seokjin masuk ke
dalam restoran dan menyapa ibu Yoongi.
“Waah, kalian lama sekali tidak kemari.
Ayo duduk, Bibi akan berikan banyak ayam hari ini.”
Ibu Yoongi masuk ke dalam dapur,
dan Yoongi keluar untuk menemui mereka.
“Kapan kalian berhenti datang
kemari? Apa kalian nggak bosen makan gratis?”
“Hyung, tidak ada ayam seenak
buatan ibumu.” Hoseok mengacungkan kedua jempolnya.
“Aaaak.”, Yoongi tiba-tiba
berteriak.
Ibunya memukul kepalanya dari
belakang sambil membawa sekeranjang ayam dari dapur.
“Kenapa kamu bicara begitu pada
mereka. Kalian jangan dengarkan Yoongi, makanlah yang banyak. Ya ampun Seokjin,
kau benar-benar harus makan banyak. Lihatlah badanmu semakin kurus. Pasti
sangat melelahkan menjadi dokter magang.”
“Tenang saja Bi, aku makan dengan
sangat baik, jangan khawatir.”
Namjoon kemudian menyahut, “Aku
kadang berpikir, apa Yoongi hyung benar-benar anak Bibi? Bibi begitu ramah,
sedangkan Yoongi hyung…..”
“Aku apa?”, Yoongi menyela
kalimat Namjoon.
Ibu Yoongi tertawa dan berkata,
“Ini rahasia. Tapi sebenarnya Bibi menemukan Yoongi di belakang rumah ketika
akan mengambil ayam.”
Tanpa merasa berdosa, ibu Yoongi
berlalu menuju dapur. Yoongi hanya menatap tak percaya pada ibunya.
“Hyung.”, Hoseok menepuk pundak
Yoongi. “Aku sudah sampaikan salammu ke Minji.”
“Hey, Jung Hoseok! Jadi kamu
emang mau mati rupanya.”
“Tenang dulu hyung, masih ada
lagi. Aku juga sudah kasih nomermu ke dia.”
Yoongi berdiri dari duduknya
hendak meraih kerah baju Hoseok, tapi Hoseok dengan sigap loncat dan
bersembunyi di balik punggung Seokjin.
“Tunggu…tunggu…, siapa Minji? Apa
kalian mulai mengasingkanku gara-gara aku jarang ngumpul? Namjoon-ah, kamu kok
nggak pernah cerita apa-apa?”
Namjoon hanya diam. Dia sama
sekali tidak tertarik dengan pembicaraan ini, dan memilih untuk mengunyah paha
ayam.
Hoseok kembali ke tempat
duduknya. Dan mulai menjelaskan dengan detail.
“Ooh, jadi intinya Min Yoongi
kita sedang kasmaran saat ini…”, komentar Seokjin usai mendengar penjelasan
Hoseok.
Yoongi tidak melakukan pembelaan
apapun, ataupun mencoba mengklarifikasi. Mungkin dia merasa itu hal percuma dan
membuang-buang energi saja, atau mungkin sikap diamnya menjadi sebuah
pembenaran.
Hoseok kemudian bersenandung
tipis, “If you love someone just be brave
to say that you want her to be with you….”
“Bibi, apa aku boleh minta
kentang goreng?”. Namjoon tiba-tiba berteriak, mencoba menyelamatkan dirinya
sendiri dari ketidaknyamanan ini.
“Biar aku ambil.”, jawab Yoongi.
Setelah membawakan kentang
goreng, Yoongi meninggalkan obrolan dengan teman-temannya. Hari itu restoran
cukup ramai, sehingga Yoongi harus membantu ibunya melayani pelanggan.
“Yoongi-yah, tolong antarkan
pesanan ke alamat ini ya….,”ibunya menyodorkan satu box ayam goreng.
Yoongi pun berangkat ke alamat
tersebut. Ia berdiri di depan sebuah kamar apartemen, menekan belnya, dan
menunggu seseorang membuka pintu. Kepalanya menunduk, memandang sneakers
navy-nya yang kusam.
Saat pintu terbuka dan dia
mengangkat kepalanya….
“Yoongi oppa….”
Mata Yoongi melebar. Dia membatu
untuk sepersekian detik.
“Maaf, maksudku Yoongi-ssi… Aku hanya
terkejut melihatmu disini.”, Minji meralat panggilannya untuk Yoongi.
“Ah, iya. Aku nganterin pesanan
ayam.”
“Apa kamu kerja paruh waktu di
restoran ini?”
“Ibuku yang ngelola restoran ayam
ini.”
“Benarkah? Aku sering banget
pesan ayam, tapi baru kali ini kamu yang nganter.”
“Kalau pas lagi rame banget aja
aku bantu nganter pesanan.”
“Ooh…, mau masuk dulu buat
secangkir teh?”
“Nggak usah. Aku harus balik lagi
ke restoran.”
“Oh, ok. Makasih ya ayamnya…”. Dengan
raut wajah yang sedikit kecewa, Minji hendak menutup pintu.
Tiba-tiba Yoongi berkata,
“Mungkin kita bisa minum kopi lain kali.”. Minji pun tersenyum mendengarnya.
Saat perjalanan pulang, Yoongi
memikirkan kembali apa yang sudah dia katakan pada Minji tadi. Bukankah secara
tidak langsung, ia seperti sedang mengajak Minji berkencan. Ah, sudah lah, kalimat
itu sudah terlanjur meluncur dari mulutnya.
Malam ini sedikit lebih panas
dari biasanya. Yoongi mencari udara segar di atap rumah sambil menikmati es
krim Pongta-nya.
Ponselnya berdering. Yoongi malas
beranjak dari duduknya. Meski sebenarnya ia hanya perlu sedikit menjulurkan
lengan untuk meraih ponsel yang tergeletak di balik punggungnya.
Tak lama kemudian, ada bunyi pesan
masuk. Ia masih mengabaikan. Terdengar lagi bunyi pesan baru.
Tangan kirinya dengan enggan
meraba di bagian belakang untuk mengambil ponsel.
Satu panggilan tak terjawab dan
sebuah pesan dari Namjoon. Dan ada sebuah pesan dari nomer tak dikenal.
Yoongi pun membuka pesan dari
nomer asing tersebut lebih dulu.
Meski sedikit berlebihan, tapi
Yoongi membaca pesan itu hingga tanpa sadar menjatuhkan es krim dari tangannya.
Pesan itu dari Minji. Ia bertanya
pada Yoongi, kapan mereka bisa minum kopi bersama, dan menawarkan bagaimana
kalau besok sore.
Masih belum pulih dari
bengongnya, ponselnya kembali berdering.
“Halo?”
“Hyung, sudah baca pesanku
belum?”
“Hah?”
“Haish… Besok sore temenin ke
Samseong-dong ya, aku mau cari action figure.”
“Aku nggak bisa besok sore, kamu
sama Hoseok aja.”
“Kenapa hyung? Jangan bilang kamu
mending tidur aja di rumah.”
“Aku ada urusan besok. Sudah
yaa…”. Yoongi mengakhiri panggilan, dan mulai mengetik membalas pesan dari
Minji.
Sementara Yoongi saling bertukar
pesan dengan Minji, Namjoon sedang mengomel sendiri di kamarnya.
Seokjin tanpa sengaja mengamati
kelakuan adiknya itu dari pintu kamar Namjoon yang dibiarkan terbuka.
“Hey, kamu ngapain ngomel-ngomel
nggak jelas gitu?”
“Siapa yang nggak kesel kalau
telponnya tiba-tiba ditutup gitu aja padahal belum selesai ngomong. Lagian ini
mencurigakan, mendadak dia yang awalnya pemalas bertingkah sok sibuk.”
“Kamu ngomongin soal siapa sih?”
“Yoongi hyung.”
“Kayaknya kamu berlebihan. Orang
mungkin mikir Yoongi itu pacarmu kalau kamu posesif gitu. Dia juga punya hidup
sendiri.”
“Apa kesepian juga dianggap suatu
hal yang berlebihan? Saat hyung ku sendiri nggak punya waktu buatku, apa salah
aku takut kehilangan hyung ku yang lain? Ah, sudahlah…”.
Namjoon menutup pintu kamarnya.
Seokjin pun berjalan masuk ke kamarnya sendiri.
Malam berlalu, hari berganti, minggu
yang baru, bulan yang baru, dan seseorang yang kini dengan status baru.
Hoseok, Namjoon, dan Yoongi,
sedang bertemu untuk makan siang bersama.
“Lihatlah Min Yoongi kita,
sekarang dia jadi lebih rapi sejak pacaran dengan Minji.”, seperti biasa Hoseok
membuka obrolan.
“Sudah, cepat pesan saja makanannya,
nggak usah banyak komentar.”
“Hyung boleh pergi kalau mau.”
Kalimat Namjoon membuat hening
seketika. Senyum menghilang dari wajah Hoseok.
“Apa maksudmu?”, jawab Yoongi.
“Hyung buru-buru kan, karena
setelah ini mau ketemu Minji. Hyung nggak harus ikut kita makan kok kalau emang
nggak mau.”
“Hey, Kim Namjoon, kamu pikir aku
akan duduk di depanmu sekarang kalau aku nggak mau ada di sini, merelakan jatah
tidur siangku untuk kemudian kamu usir kayak gini?”
“Ya sudah, harusnya kamu tadi
tidur aja di rumah. Terus bangun pas mau ketemu Minji. Ngapain kesini?”
Tanpa bicara lagi, Yoongi pergi.
“Namjoon-ah, kamu ini kenapa sih
tiba-tiba marah nggak jelas?”. Hoseok mencoba mencerna apa yang baru saja
terjadi.
“Dia minta kamu cepat-cepat pesan
makan, seolah-olah kita ngebuang waktunya yang berharga.”
“Kenapa kamu mikir kayak gitu.”
“Karena dia selalu gitu tiap kali
kita keluar bareng sejak dia pacaran sama Minji. Apa kamu nggak sadar?”
“Aku nggak lihat ada yang salah
sama apa yang dilakuin Yoongi hyung.”
“Jadi kamu juga nganggap kalau
aku bersikap berlebihan, sama kayak yang dibilang Seokjin hyung?”
“Nggak bisa kah kamu lihat usaha
Yoongi hyung buat ngebagi waktunya? Ini semua pasti juga nggak mudah buatnya.
Berhenti bersikap sebagai korban. Ini kayak bukan kamu. Kemana Namjoon yang
bijak dan dewasa?”
“Hoseok-ah, apa merupakan sebuah
kesalahan kalau aku hanya jujur sama apa yang aku rasain? Anggap lah aku emang
nggak dewasa, anggap lah aku nggak bisa bersikap bijak, maaf kalau ternyata aku
nggak sesuai ekspektasimu.”