LET GO Pt.2

Everythings Change

Hari ini Seokjin sedang libur. Jadi dia, Namjoon, dan Hoseok, pergi ke restoran ayam milik ibu Yoongi.
“Haloo Bibi…..”, Seokjin masuk ke dalam restoran dan menyapa ibu Yoongi.
“Waah, kalian lama sekali tidak kemari. Ayo duduk, Bibi akan berikan banyak ayam hari ini.”
Ibu Yoongi masuk ke dalam dapur, dan Yoongi keluar untuk menemui mereka.
“Kapan kalian berhenti datang kemari? Apa kalian nggak bosen makan gratis?”
“Hyung, tidak ada ayam seenak buatan ibumu.” Hoseok mengacungkan kedua jempolnya.
“Aaaak.”, Yoongi tiba-tiba berteriak.
Ibunya memukul kepalanya dari belakang sambil membawa sekeranjang ayam dari dapur.
“Kenapa kamu bicara begitu pada mereka. Kalian jangan dengarkan Yoongi, makanlah yang banyak. Ya ampun Seokjin, kau benar-benar harus makan banyak. Lihatlah badanmu semakin kurus. Pasti sangat melelahkan menjadi dokter magang.”
“Tenang saja Bi, aku makan dengan sangat baik, jangan khawatir.”
Namjoon kemudian menyahut, “Aku kadang berpikir, apa Yoongi hyung benar-benar anak Bibi? Bibi begitu ramah, sedangkan Yoongi hyung…..”
“Aku apa?”, Yoongi menyela kalimat Namjoon.
Ibu Yoongi tertawa dan berkata, “Ini rahasia. Tapi sebenarnya Bibi menemukan Yoongi di belakang rumah ketika akan mengambil ayam.”
Tanpa merasa berdosa, ibu Yoongi berlalu menuju dapur. Yoongi hanya menatap tak percaya pada ibunya.
“Hyung.”, Hoseok menepuk pundak Yoongi. “Aku sudah sampaikan salammu ke Minji.”
“Hey, Jung Hoseok! Jadi kamu emang mau mati rupanya.”
“Tenang dulu hyung, masih ada lagi. Aku juga sudah kasih nomermu ke dia.”
Yoongi berdiri dari duduknya hendak meraih kerah baju Hoseok, tapi Hoseok dengan sigap loncat dan bersembunyi di balik punggung Seokjin.
“Tunggu…tunggu…, siapa Minji? Apa kalian mulai mengasingkanku gara-gara aku jarang ngumpul? Namjoon-ah, kamu kok nggak pernah cerita apa-apa?”
Namjoon hanya diam. Dia sama sekali tidak tertarik dengan pembicaraan ini, dan memilih untuk mengunyah paha ayam.
Hoseok kembali ke tempat duduknya. Dan mulai menjelaskan dengan detail.
“Ooh, jadi intinya Min Yoongi kita sedang kasmaran saat ini…”, komentar Seokjin usai mendengar penjelasan Hoseok.
Yoongi tidak melakukan pembelaan apapun, ataupun mencoba mengklarifikasi. Mungkin dia merasa itu hal percuma dan membuang-buang energi saja, atau mungkin sikap diamnya menjadi sebuah pembenaran.
Hoseok kemudian bersenandung tipis, “If you love someone just be brave to say that you want her to be with you….
“Bibi, apa aku boleh minta kentang goreng?”. Namjoon tiba-tiba berteriak, mencoba menyelamatkan dirinya sendiri dari ketidaknyamanan ini.
“Biar aku ambil.”, jawab Yoongi.
Setelah membawakan kentang goreng, Yoongi meninggalkan obrolan dengan teman-temannya. Hari itu restoran cukup ramai, sehingga Yoongi harus membantu ibunya melayani pelanggan.
“Yoongi-yah, tolong antarkan pesanan ke alamat ini ya….,”ibunya menyodorkan satu box ayam goreng.
Yoongi pun berangkat ke alamat tersebut. Ia berdiri di depan sebuah kamar apartemen, menekan belnya, dan menunggu seseorang membuka pintu. Kepalanya menunduk, memandang sneakers navy-nya yang kusam.
Saat pintu terbuka dan dia mengangkat kepalanya….
“Yoongi oppa….”
Mata Yoongi melebar. Dia membatu untuk sepersekian detik.
“Maaf, maksudku Yoongi-ssi… Aku hanya terkejut melihatmu disini.”, Minji meralat panggilannya untuk Yoongi.
“Ah, iya. Aku nganterin pesanan ayam.”
“Apa kamu kerja paruh waktu di restoran ini?”
“Ibuku yang ngelola restoran ayam ini.”
“Benarkah? Aku sering banget pesan ayam, tapi baru kali ini kamu yang nganter.”
“Kalau pas lagi rame banget aja aku bantu nganter pesanan.”
“Ooh…, mau masuk dulu buat secangkir teh?”
“Nggak usah. Aku harus balik lagi ke restoran.”
“Oh, ok. Makasih ya ayamnya…”. Dengan raut wajah yang sedikit kecewa, Minji hendak menutup pintu.
Tiba-tiba Yoongi berkata, “Mungkin kita bisa minum kopi lain kali.”. Minji pun tersenyum mendengarnya.
Saat perjalanan pulang, Yoongi memikirkan kembali apa yang sudah dia katakan pada Minji tadi. Bukankah secara tidak langsung, ia seperti sedang mengajak Minji berkencan. Ah, sudah lah, kalimat itu sudah terlanjur meluncur dari mulutnya.
Malam ini sedikit lebih panas dari biasanya. Yoongi mencari udara segar di atap rumah sambil menikmati es krim Pongta-nya.
Ponselnya berdering. Yoongi malas beranjak dari duduknya. Meski sebenarnya ia hanya perlu sedikit menjulurkan lengan untuk meraih ponsel yang tergeletak di balik punggungnya.
Tak lama kemudian, ada bunyi pesan masuk. Ia masih mengabaikan. Terdengar lagi bunyi pesan baru.
Tangan kirinya dengan enggan meraba di bagian belakang untuk mengambil ponsel.
Satu panggilan tak terjawab dan sebuah pesan dari Namjoon. Dan ada sebuah pesan dari nomer tak dikenal.
Yoongi pun membuka pesan dari nomer asing tersebut lebih dulu.
Meski sedikit berlebihan, tapi Yoongi membaca pesan itu hingga tanpa sadar menjatuhkan es krim dari tangannya.
Pesan itu dari Minji. Ia bertanya pada Yoongi, kapan mereka bisa minum kopi bersama, dan menawarkan bagaimana kalau besok sore.
Masih belum pulih dari bengongnya, ponselnya kembali berdering.
“Halo?”
“Hyung, sudah baca pesanku belum?”
“Hah?”
“Haish… Besok sore temenin ke Samseong-dong ya, aku mau cari action figure.”
“Aku nggak bisa besok sore, kamu sama Hoseok aja.”
“Kenapa hyung? Jangan bilang kamu mending tidur aja di rumah.”
“Aku ada urusan besok. Sudah yaa…”. Yoongi mengakhiri panggilan, dan mulai mengetik membalas pesan dari Minji.
Sementara Yoongi saling bertukar pesan dengan Minji, Namjoon sedang mengomel sendiri di kamarnya.
Seokjin tanpa sengaja mengamati kelakuan adiknya itu dari pintu kamar Namjoon yang dibiarkan terbuka.
“Hey, kamu ngapain ngomel-ngomel nggak jelas gitu?”
“Siapa yang nggak kesel kalau telponnya tiba-tiba ditutup gitu aja padahal belum selesai ngomong. Lagian ini mencurigakan, mendadak dia yang awalnya pemalas bertingkah sok sibuk.”
“Kamu ngomongin soal siapa sih?”
“Yoongi hyung.”
“Kayaknya kamu berlebihan. Orang mungkin mikir Yoongi itu pacarmu kalau kamu posesif gitu. Dia juga punya hidup sendiri.”
“Apa kesepian juga dianggap suatu hal yang berlebihan? Saat hyung ku sendiri nggak punya waktu buatku, apa salah aku takut kehilangan hyung ku yang lain? Ah, sudahlah…”.
Namjoon menutup pintu kamarnya. Seokjin pun berjalan masuk ke kamarnya sendiri.
Malam berlalu, hari berganti, minggu yang baru, bulan yang baru, dan seseorang yang kini dengan status baru.
Hoseok, Namjoon, dan Yoongi, sedang bertemu untuk makan siang bersama.
“Lihatlah Min Yoongi kita, sekarang dia jadi lebih rapi sejak pacaran dengan Minji.”, seperti biasa Hoseok membuka obrolan.
“Sudah, cepat pesan saja makanannya, nggak usah banyak komentar.”
“Hyung boleh pergi kalau mau.”
Kalimat Namjoon membuat hening seketika. Senyum menghilang dari wajah Hoseok.
“Apa maksudmu?”, jawab Yoongi.
“Hyung buru-buru kan, karena setelah ini mau ketemu Minji. Hyung nggak harus ikut kita makan kok kalau emang nggak mau.”
“Hey, Kim Namjoon, kamu pikir aku akan duduk di depanmu sekarang kalau aku nggak mau ada di sini, merelakan jatah tidur siangku untuk kemudian kamu usir kayak gini?”
“Ya sudah, harusnya kamu tadi tidur aja di rumah. Terus bangun pas mau ketemu Minji. Ngapain kesini?”
Tanpa bicara lagi, Yoongi pergi.
“Namjoon-ah, kamu ini kenapa sih tiba-tiba marah nggak jelas?”. Hoseok mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Dia minta kamu cepat-cepat pesan makan, seolah-olah kita ngebuang waktunya yang berharga.”
“Kenapa kamu mikir kayak gitu.”
“Karena dia selalu gitu tiap kali kita keluar bareng sejak dia pacaran sama Minji. Apa kamu nggak sadar?”
“Aku nggak lihat ada yang salah sama apa yang dilakuin Yoongi hyung.”
“Jadi kamu juga nganggap kalau aku bersikap berlebihan, sama kayak yang dibilang Seokjin hyung?”
“Nggak bisa kah kamu lihat usaha Yoongi hyung buat ngebagi waktunya? Ini semua pasti juga nggak mudah buatnya. Berhenti bersikap sebagai korban. Ini kayak bukan kamu. Kemana Namjoon yang bijak dan dewasa?”
“Hoseok-ah, apa merupakan sebuah kesalahan kalau aku hanya jujur sama apa yang aku rasain? Anggap lah aku emang nggak dewasa, anggap lah aku nggak bisa bersikap bijak, maaf kalau ternyata aku nggak sesuai ekspektasimu.”


Post a Comment