DECISION EP.1 : Part 12

Monologue: “Decision”

Kim Namjoon. Ayah  belum kembali dari pertemuan. Mungkin ia bersenang-senang tanpa diriku. Tanpa anak dibawah umur, artinya dia bebas untuk minum. Aku bisa langsung masuk ke kamarku dan beristirahat. Rasanya lelah dan mengantuk, tapi meski kupejamkan mata, aku tidak bisa tidur. Kubuka mataku, terlihat di bagian kiri tempat tidur, sebuah closet tak berpintu menampilkan deretan jas berwarna gelap. Semua tampak sama. Aku tidak ingat pasti sejak kapan jas-jas itu mulai bertengger di sana. Mungkin tigan tahun lalu, sejak ayahku mulai mengarahkanku mengikuti jejaknya menjadi seorang pengacara. Aku benci jas hitam itu, aku benci datang ke pertemuan, aku benci hidupku. Tapi mengakhiri hidup bukan solusi. Cukup untuk mencobanya sekali saja. Penulis Bang bilang ‘Akan selalu ada jalan terbaik bagi mereka yang tidak berhenti mencari’. Aku telah hidup sebagai boneka ayah. Menjalani hidup yang dia inginkan, mendandaniku seperti yang dia inginkan. Kalau aku belum bisa memilih jalan hidupku sendiri untuk saat ini, mungkin aku bisa mulai untuk mendadani diriku seperti yang kumau. Dengan begitu mungkin aku bisa sedikit hidup sebagai manusia, bukan sebuah boneka. Bukankah seorang pengacara juga bisa tampil stylish. Aku sungguh membenci fakta untuk memakai jas hitam, daripada menjadi pengacara.

Kim Seokjin. Tumpukan buku sudah menyambutku di depan meja. Aku tidak benci untuk belajar. Aku hanya merasa lelah mencoba memenuhi ekspektasi ayahku yang selalu saja merasa tidak pernah cukup. Andai aku masih diijinkan untuk ke dapur, memasak akan membuatku merasa lebih baik. Sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa ayah melarangku. Aku hanya tidak bisa berkata ‘tidak’ padanya. Di saat suasana hati sedang buruk seperti ini, akan menyenangkan bila aku bisa mendengarkan Jungkook bernyanyi seperti waktu itu. Sayangnya aku tidak bisa memintanya memainkan lagu kapanpun aku mau. Apa aku belajar bermain gitar saja dan menghibur diriku sendiri? Tapi apa ayah akan mengijinkan? Rasanya sudah lama sekali aku tidak meminta sesuatu padanya. Mungkin lebih tepatnya aku menghindari bicara padanya. Mungkin aku bisa membuatnya sebagai sebuah taruhan. Memberikan yang dia ingin, dan mendapatkan apa yang aku minta. Baiklah, aku akan mencobanya.

Min Yoongi. Tidak ada yang lebih kuinginkan selain segera berbaring. Sesungguhnya aku sama terkejutnya dengan Hoseok. Kenapa aku memilih meninggalkan kamarku yang nyaman untuk pergi ke acara tadi. Kujulurkan tanganku untuk meraih buku dan bolpoin di atas meja. Aku benar-benar malas beranjak dari tempat tidur. Masih dengan posisi tengkurap, kubuka buku itu dan mulai menulis sesuatu. Aku masih mengingat pertanyaan Hoseok, apakah aku benar-benar telah menyerah pada musik. Aku tidak tahu. Keinginanku untuk menjadi seorang produser tidak pernah menghilang. Tapi aku belum bisa membuktikan pada ayahku bahwa aku akan sukses menjadi seorang produser. Baginya pekerjaan terbaik adalah menjadi seorang pegawai negeri sipil. Sebuah pekerjaan terhormat yang membuatku hidup terjamin. Tanganku rasanya sudah gatal ingin memainkan Midi. Tapi Midi Controller-ku sudah lenyap. Tentu saja aku ingin membeli lagi. Hanya saja aku tidak akan menghabiskan uang hasil kerja kerasku untuk membeli sesuatu yang pada akhirnya dihancurkan ayahku. Untuk saat ini aku hanya melampiaskan hasrat bermusikku untuk menulis lirik. Aku akan menunggu dan melihat, sampai kapan aku sanggup bertahan meuruti keinginan ayahku. Aku akan lihat, apakah impianku lebih besar dibandingkan ego ayahku.

Jung Hoseok. Aaah, lelahnya. Padahal aku menghabiskan lebih banyak waktu untuk tidur, daripada mendengarkan Penulis Bang berbicara. Membawa Taehyung dan Jimin hanya mampu membuatku tetap sadar di awal acara. Dan tentu saja mereka juga membangunkanku saat acara telah berakhir. Aku penasaran apa yang dilakukan Yoongi hyung selama acara berlangsung. Rasanya aku masih tidak percaya bertemu dengannya tadi. Tapi baguslah dia keluar dari kamarnya di siang hari. Matahari akan membuat kulit pucatnya sedikit lebih berwarna. Aku masih sedih dia berhenti membuat lagu. Tapi aku juga tidak lebih baik darinya. Mengkhawatirkannya membuatku sedikit lebih baik karena aku melupakan sejenak kekhawatiranku sendiri. Aku tidak pernah berani menghadapi ayahku. Entah sampai kapan aku akan menari dengan sembunyi-sembunyi. Aku hanya akan terus melakukannya. Apa yang akan terjadi nanti, akan kupikirkan nanti juga.

Park Jimin. Hari ini, Jungkook sekali lagi menunjukkan padaku bahwa dia tidak harus menjadi orang lain untuk diterima oleh orang-orang. Ada sesuatu dalam dirinya yang mampu menarik perhatian. Mungkin kejujuran dalam dirinya itu yang membuatnya bisa melihat kebohongan dalam diriku. Aku masih belum mampu menghilangkan traumaku untuk menyanyi. Tapi kini aku bisa mengekspresikan diriku dengan menari. Aku tidak perlu berpura-pura tersenyum saat sedang sedih. Aku bisa melampiaskannya dalam tarian, bukan tangisan. Bila Jungkook yang telah menyadarkanku, Hoseok adalah seseorang yang berperan penting membantuku menggali ke dalam diriku sendiri. Dan lewat Hoseok, aku mengenal Taehyung. Entah kenapa saat melihatnya tertawa, aku ikut tertawa juga. Ada sisi polos dalam dirinya. Aku melihatnya sebagai seorang anak kecil. Menangis saat sedang sedih, dan tertawa lepas saat sedang bahagia. Mulai sekarang aku tidak akan hidup hanya untuk berusaha menyenangkan orang lain. Aku akan berusaha menyenangkan diriku sendri, tanpa merusak kesenangan orang lain.

Kim Taehyung. Aku sudah membolos shift kerja hari ini hanya untuk menemani Hoseok tidur dalam aula. Artinya minggu depan aku harus masuk seharian untuk dua shift. Tapi sangat menyenangkan bekerja di kafe. Pertama, karena Yoongi hyung ada di sana. Dia membuatku merasa aman. Aku seorang anak sulung, aku tidak tahu rasanya punya seorang kakak yang bisa kuandalkan. Yoongi hyung membuatku merasa aku punya satu sekarang. Andai dia mau tersenyum sedikit saja, akan lebih baik lagi. Yang kedua adalah, karena aku bisa membuat latte art di sana. Aku lupa akan kesedihanku kehilangan kameraku. Aku tidak tahu bahwa membuat latte art sangat menyenangkan. Dan aku tidak merasa bersalah untuk bersenang-senang. Bila untuk fotografi aku mengeluarkan uang, dari latte art aku bisa mendapatkan uang. Sebenarnya aku juga bisa menghasilkan uang dengan fotografi. Mungkin nanti, bila aku sudah mendapatkan kameraku lagi. Tapi sepertinya aku sungguh telah jatuh cinta pada latte art. Rasanya aku sedang berkhianat. Bukankah tidak semua cinta pertama bertahan selamanya?

Jeon Jungkook. Hal pertama yang kulakukan setelah Seokjin hyung mengantarku pulang adalah meraih gitarku yang bersandar di sisi meja. Bila sebuah keinginan kecil yang kumiliki adalah bagian dari mimpi, apakah keinginanku untuk bermain gitar benar-benar adalah mimpiku. Bermain gitar bukan sesuatu yang ingin kuraih, aku hanya melakukannya untuk mengisi kekosongan dalam hatiku. Aku tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Aku tidak tahu apa yang menjadi impianku. Selama ini aku hanya bernafas, dan menjalani apa yang ditawarkan kehidupan kepadaku. Apakah aku bisa menentukan kehidupan seperti yang ingin kujalani? Tapi kehidupan seperti apa yang kuinginkan? Aku tidak pernah merasa menelusuri jalan hidup orang lain. Tidak ada orang tua yang mengarahkan atau menuntutku untuk hidup seperti apa. Karena aku memang tidak punya. Satu-satunya kehidupan yang aku tahu adalah panti asuhan ini, tempat di mana aku tumbuh. Mungkinkah aku harus pergi dari sini, untuk mencari tahu apa yang kuinginkan, apa yang ingin kuraih? Kurasa aku punya satu mimpi sekarang, yaitu pergi dari panti asuhan ini. Aku tidak tahu kapan, tapi mungkin aku bisa coba mendiskusikannya dengan Seokjin hyung. Dia bilang aku bisa menghubunginya bila membutuhkan sesuatu.

Post a Comment